Selasa, 05 April 2011

Kepemimpinan Kepala Sekolah

Kepemimpinan Kepala Sekolah
Oleh Marthinus Arruan,S.Pd
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Salah satu persoalan pendidikan yang sedang dihadapi bangsa kita adalah persoalan mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan. Berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, antara lain melalui berbagai pelatihan dan peningkatan kompetensi guru, pengadaan buku dan alat pelajaran, perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, dan meningkatkan mutu manajemen sekolah. Namun demikian, Indikator mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang berarti. Sebagian sekolah, terutama di kota-kota, menunjukkan peningkatan mutu pendidikan yang mencakup menggembirakan, namun sebagian besar lainnya masih memprihatinkan.
Berdasarkan masalah di atas, maka berbagai pihak mempertayakan apa yang salah dalam penyelenggaraan pendidikan kita? Dan berbagai pengamat dan analisis, ada berbagai faktor yang menyebabkan mutu pendidikan kita mengelami peningkatan secara merata.1 Pertama, kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan educational production function atau input-output analisis yang tidak dilaksanakan secara konsekwen. Pendekatan ini melihat bahwa lembaga pendididjkan berfungsi sebagai pusat produksi yang apabila dipenuhi semua input yang diperlukan dalam kegiatan produksi tersebut, maka lembaga akan menghasilkan
output yang dikehendaki. Pendekatan ini menganggap input pendidikan seperti pelatihan guru, pengadaan buku dan alat pelajaran, dan perbaikan sarana prasarana perbaikan lainnya dipenuhi, maka mutu pendidikan (output) secara otomatis akan terjadi. Kedua, penyelenggaraan pendidikan nasional dilakukan secara birokratissentralistik, sehingga meningkat sekolah sebagai penyelenggaraan pendidikan yang tergantung pada keputusan birokrasi-birokrasi. Kadang-kadang birokrasi itu sangat panjang dan kebijakannya tidak sesuai dengan kondisi sekolah setempat. Maka akses dari birokrasi panjang dan sentralisasi itu, sekolah menjadi tidak mandiri, kurangya kreatifitas dan motivasi.
Ketiga, minimnya peranan masyarakat khususnya orang tua sisiwa dalam penyelenggaraan pendidikan, pratisipasi orang tua selama ini dengan sebatas pendukung dana, tapi tidak dilibatkan dalam proses pendidikan seperti mengambil keputusan, monitoring, evaluasi dan akuntabilitas, sehingga sekolah tidak memiliki beban dan tanggung jawab hasil pelaksanaan pendidikan kepada masyarakat/orang tua sebagai stake holder yang berkepentingan dengan pendidikan. Keempat, krisis kepemimpinan, dimana kepala sekolah yang cenderung tidak demokratis, sistem topdown policy baik dari kepala sekolah terhadap guru atau birokrasi diatas kepala
sekolah terhadap sekolah.
Munculnya paradigma Guru tentang manajemen berbasis sekolah yang
bertumpu pada penciptaan iklim yang demokratisasi dan pemberian kepercayaan


3
yang lebih luas kepada sekolah untuk menyelenggarakan pendidikan secara efisien
dan berkualitas.
Hal ini sangat memungkinkan dengan dikeluarkannya UU pemerintah no. 22
tahun 1999, selanjutnya diubah dengan UU no.32 tahun 2004 yaitu undang-undang
otonomi daerah yang kemudian diatur oleh PP no. 33 tahun 2004 yaitu adanya
penggeseran kewenangan dan pemerintah pusat ke pemda dalam berbagai bidang
termasuk bidang pendidikan kecuali agama, politik luar negri, pertahanan dan
keamanan, peradilan, moneter dan fiskal.
Pola bidang pendidikan diatas oleh UU No.20 tahun 2003 tentang sistem
pendidikan nasional dengan pasal 51 menyatakan .pengadaan satuan pendidikan anak
usia dini, pendidikan agar, dan pendidikan menengah didasarkan pada standar
pelayanan minimum dengan prinsip manajemen berbasis sekolah.3
Kepemimpinan adalah cara seseorang pemimpin mempengaruhi perilaku
bawahan agar mau bekerja sama dan bekerja secara produktif untuk mencapai tujuan
organisasi. Gaya kepemimpinan yang kurang melibatkan bawahan dalam mengambil
kepurusan maka akan mengakibatkan adanya disharmonisasi hubungan anatara
pemimpin dan yang dipimpin.
Kepemimpinan merupakan salah satu faktor yang menentukan kesuksesan
implementasi MBS. Sebagaimana dikemukakan oleh Nurkolis setidaknya ada empat
alasan kenapa diperlukan figur pemimpin, yaitu ; 1) banyak orang memerlukan figur
pemimpin, 2) dalam beberapa situasi seorang pemimpin perlu tampil mewakili
3 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 51, ayat 1, hal.30
4
kelompoknya, 3) sebagai tempat pengambilalihan resiko bila terjadi tekanan terhadap
kelomponya, dan 4) sebagai tempat untuk meletakkan kekuasaan.4 Dalam
Manajemen berbasis sekolah dimana memberikan keleluasaan kepada sekolah untuk
mengelola potensi yang dimiliki dengan melibatkan semua unsur stakeholder untuk
mencapai peningkatan kualitas sekolah tersebut. Karena sekolah memiliki
kewenangan yang sangat luas itu maka kehadiran figur pemimpin menjadi sangat
penting.
Kepemimpinan yang baik tentunya sangat berdampak pada tercapai tidaknya
tujuan organisasi karena pemimpin memiliki pengaruh terhadap kinerja yang
dipimpinnya. Kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok untuk mencapai
tujuan merupakan bagian dari kepemimpinan.5 Konsep kepemimpinan erat sekali
hubungannya dengan konsep kekuasaan. Dengan kekuasaan pemimpin memperoleh
alat untuk mempengaruhi perilaku para pengikutnya. Terdapat beberapa sumber dan
bentuk kekuasaan, yaitu kekuasaan paksaan, legitimasi, keahlian, penghargaan,
referensi, informasi, dan hubungan.6
Gaya kepemimpinan adalah sikap, gerak-gerik atau lagak yang dipilih oleh
seseorang pemimpin dalam menjalankan tugas kepemimpinannya. Gaya yang dipakai
oleh seorang pemimpin satu dengan yang lain berlainan tergantung situasi dan
kondisi kepemimpinannya. Gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang
4 Nurkolis.2005. Manajemen Berbasis Sekolah, Jakarta : PT.Grasindo, cet.ke-3, hal.152
5 Ibid.,hal.154
6 Miftah Toha.1990. Kepemimpinan Dalam Manajemen, Jakarta : Rajawali Pers, cet. Ke-4,
hal.323
5
dipergunakan seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku
orang lain. Gaya kepemimpinan adalah suatu pola perilaku yang konsisten yang
ditinjukan oleh pemimpin dan diketahui pihak lain ketika pemimpin berusaha
mempengaruhi kegiatan-kegiatan orang lain.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian
.Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah Dalam Penerapan Manajemen Berbasis
Sekolah Pada SMAN I GUNUNG SINDUR.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gaya kepemimpian kepala sekolah
dalam penerapan MBS di Sekolah Menengah Atas Negeri Gunung Sindur kec.
Gunung Sindur Kabupaten Bogor .
C. Identifikasi Masalah
Ada beberapa faktor yang berkaitan erat dengan penerapan manajemen berbasis
sekolah antara lain faktor kepemimpinan, sikap guru, peraturan pemerintah,
dukungan birokrasi, budaya sekolah, sarana dan prasarana, lingkungan masyarakat,
dan masalah finansial.
Berdasarkan uraian di atas, maka ada beberapa masalah yang dapat diidentifikasi
yaitu:
6
1. Bagaimana kepemimpinan kepala sekolah dalam penerapan manajemen
berbasis sekolah?
2. Bagaimana sikap guru dalam penerapan manajemen berbasis sekolah?
3. Bagaimana dukungan birokrasi pendidikan dalam penerapan manajemen
berbasis sekolah?
4. Bagaimana kebijakan pemerintah tentang penerapan manajemen berbasis
sekolah?
5. Bagaimana budaya sekolah untuk mendukung penerapan manajemen berbasis
sekolah?
6. Bagaimana kesiapan anggaran dalam mendukung penerapan manajemen
berbasis sekolah?
D. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Mengacu kepada identifikasi di atas maka fokus penelitian dapat dibatasi pada
gaya kepemimpinan kepala sekolah dalam perangkat manajemen. Dari identifikasi
masalah tersebut maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut.
Bagaimana gaya kepemimpinan kepala sekolah dalam penerapan MBS ?.
BAB II
KERANGKA TEORI TENTANG KEPEMIMPINAN DAN MANAJEMEN
BERBASIS SEKOLAH
A. KEPEMIMPINAN
1. Pengertian
Pemimpin memiliki peranan yang dominan dalam sebuah organisasi. Peranan
yang dominan tersebut dapat mempengaruhi moral kepuasan kerja keamanan,
kualitas kehidupan kerja dan terutama tingkat prestasi suatu organisasi.
Sebagaimana dikatakan Hani Handoko bahwa pemimpin juga memainkan
peranan kritis dalam membantu kelompok organisasi, atau masyarakat untuk
mencapai tujuan mereka.1
Bagaimanapun juga kemampuan dan ketrampilan kepemimpinan dalam
pengarahan adalah faktor penting efektifitas manajer. Bila organisasi dapat
mengidentifikasikan kualitas yang berhubungan dengan kepemimpinan
kemampuan mengidentifikasikan perilaku dan tehnik-tehnik kepemimpinan
efektif, Kepemimpinan dalam bahasa inggris tersebut leadership berarti .
being a leader power of leading . atau the qualities of leader.2
Secara bahasa, makna kepemimpinan itu adalah kekuatan atau kualitas
seseorang pemimpin dalam mengarahkan apa yang dipimpinnya untuk mencapai
1 Hani Handoko. 1999. Manajemen. edisi kedua. hal. 293
2 AS. Hornby. 1990. Oxford Edvanced Dictionary of English. London: Oxford University
Press. hal 481
8
9
tujuan. Seperti halnya manajemen, kepemimpinan atau leadership telah
didefinisikan oleh banyak para ahli antaranya adalah Stoner mengemukakan
bahwa kepemimpinan manajerial dapat didefinisikan sebagai suatu proses
mengarahkan pemberian pengaruh pada kegiatan-kegiatan dari sekelompok
anggota yang salain berhubungan dengan tugasnya.
Kepemimpinan adalah bagian penting manjemen, tetapi tidak sama dengan
manajemen. Kepemimpinan merupakan kemampuan yang dipunyai seseorang
untuk mempengaruhi orang lain agar bekerja mencapai tujuan dan sasaran.
Manajemen mencakup kepemimpinan tetapi juga mencakup fungsi-fungsi lainnya
seperti perencanaan, penorganisasian , pengawasan dan evaluasi. 3
Kepemimpinan atau leadership dalam pengertian umum menunjukkan
suatu proses kegiatan dalam hal memimpin, membimbing, mengontrol perilaku,
perasaan serta tingkah laku terhadap orang lain yang ada dibawah
pengawasannya.4
Disinilah peranan kepemimpinan berpengaruh besar dalam pembentukan
perilaku bawahan. menurut Handoko kepemimpinan merupakan kemampuan
seseorang untuk mempengaruhi orang lain agar mencapai tujuan dan sasaran.5
3 Ibid . ,jilid 2, hal.294
4 Ibid. , jilid I, hal. 486
5 T.Hani Handoko, Op. Cit, hal. 294.
10
2. Pendekatan Kepemimpinan
Menurut Handoko, ada beberapa pendekatan kepemimpinan yang
diklasifikasikan sebagai pendekatan-pendekatan kesifatan, perilaku, dan
situasional.6 Pendekatan pertama memandang kepemimpinan sebagai suatu
kombinasi sifat-sifat yang tampak. Pendekatan kedua bermaksud
mengidentifikasikan perilaku-perilaku (behaviours) pribadi yang berhubungan
dengan kepemimpinan yang efektif. Kedua pendekatan ini mempunyai anggapan
bahwa seorang individu yang memiliki sifat-sifat tertentu atau memperagakan
perilaku-perilaku tertentu akan muncul sebagai pemimpin dalam situasii
kelompok apapun dimana ia berada. Pendekatan ketiga yaitu pandangan
situasional tentang kepemimpinan. Pandangan ini menganggap bahwa kondisi
yang menentukan efektifitas kepempimpinan bervariasi dengan situasi yakni
tugas-tugas yang dilakukan,
keterampilan dan pengharapan bawahan, lingkungan organisasi, pengalaman
masa lalu pemimpin dan bawahan dan sebagainya. Pandangan ini telah
menimbulkan pendekatan contingency pada kepemimpinan yang bermaksud
untuk menetapkan faktor-faktor situasional yang menentukan seberapa besar
efektifitas situasi gaya kepemimpinan tertentu.
Ketiga pendekatan tersebut dapat digambarkan secara kronologis sebagai
berikut:7
6 Ibid, hal. 295
7 Ibid,, hal, 296
11
3. Gaya Kepemimpinan
Gaya kepemimpinan yang dimaksud adalah teori kepemimpinan dari
pendekatan perilaku pemimpin. Dari satu segi pendekatan ini masih difokuskan
lagi pada gaya kepemimpinan (leadership style), sebab gaya kepemimpinan
bagian dari pendekatan perilaku pemimpin yang memusatkan perhatian pada
proses dinamika kepemimpinan dalam usaha mempengaruhi aktivitas individu
untuk mencapai suatu tujuan dalam suatu situasi tertentu.
Gaya kepemimpinan ialah pola-pola perilaku pemimpin yang digunakan
untuk mempengaruhi aktuivitas orang-orang yang dipimpin untuk mencapai
tujuan dalam suatu situasi organisasinya dapat berubah bagaimana pemimpin
mengembangkan program organisasinya, menegakkan disiplin yang sejalan
dengan tata tertib yang telah dibuat, memperhatikan bawahannya dengan
meningkatkan kesejahteraanya serta bagaimana pimpinan berkomunikasi dengan
bawahannya.
Para penelti telah mengidentifikasi dua gaya kepemimpinan yaitu gaya
dengan orientasi tugas (Task Oriented) dan gaya dengan orientasi karyawan
(Employee Oriented).8 Manajer berorientasi tugas mengarahkan dan mengawasi
bawahan secara tertutup untuk menjamin bahwa tugas dilaksanakan sesuai yang
diinginkannya. Manajer dengan gaya kepemimpinan ini lebih memperhatikan
8 Ibid, hal. 299
Sifat-sifat Perilaku Situasional Contingency
12
pelaksanaan pekerjaan daripada pengembangan dan pertumbuhan karyawan.
Sedangkan manajer berorientasi karyawan mencoba untuk lebih memotivasi
bawahan dibanding mengawasi mereka. Mereka mendorong para anggota
kelompok untuk melaksanakan tugas-tugas dengan memberikan kesempatan
bawahan untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan, menciptakan suasana
persahabatan serta hubungan-hubungan saling mempercayai dan menghormati
dengan para anggota kelompok.9
Gaya kepemimpinan yang kurang melibatkan bawahan dalam mengambil
keputusan, akan mengakibatkan bawahan merasa tidak diperlukan, karena
pengambilan keputusan tersebut terkait dengan tugas bawahan sehari-hari.
Pemaksaan kehendak oleh atasan mestinya tidak dilakukan. Namun pemimpin
dalam menerapkan gaya kepemimpinan yang tepat merupakan tindakan yang
bijaksana kepada bawahan, maka akan terjadi kegagalan dalam pencapaian tujuan
organisasi.
Selanjutnya gaya kepemimpinan digunakan dalam berinteraksi dengan
bawahannya, melalui berinteraksi ini antara atasan dan bawahan masing-masing
memilki status yang berbeda. Berinteraksinya dua status yang berbeda terjadi,
apabila status pemimpin dapat mengerti keadaan bawahannya. Pada umumnya
bawahan merasa dilindungi oleh pimpinan apabila pimpinan dapat menyejukkan
hati bawahan terhadap tugas yang dibebankan kepadanya. Cara berinteraksi oleh
pimpinan akan mempengaruhi tujuan organisasi. Bawahan umumnya lebih
9 Ibid., hal. 294
13
senang menerima atasan yang mengayomi bawahan sehingga perasaan senang
akan tugas timbul, yang pada akhirnya meningkatkan kinerja karyawan.
Pemimpin yang bijaksana umumnya lebih memperhatikan kondisi bawahan
guna pencapaian tujuan organisasi. Gaya yang akan digunakan mendapat
sambutan hangat oleh bawahan sehingga proses mempengaruhi bawahan berjalan
baik dan disatu sisi timbul kesadaran untuk bekerja sama dan bekerja produktif.
Bermacam-macam cara mempengaruhi bawahan tersebut guna kepentingan
pemimpin yaitu tujuan organisasi.
Pimpinan dalam pencapaian tujuan yang telah ditetapkan pada tugas dan
fungsi, melalui proses komunikasi dengan bawahannya sebagai dimensi dalam
kepemimpinan dan teknik-teknik untuk memaksimalkan pengambilan keputusan.
Pola dasar terhadap gaya kepemimpinan yang lebih mementingkan
pelaksanaan tugas oleh para bawahannya, menuntut penyelesaian tugas yang
dibebankan padanya sesuai dengan keinginan pimpinan. Pemimpin menuntut agar
setiap anggota seperti dirinya, menaruh perhatian yang besar dan keinginan yang
kuat dalam melaksanakn tugas-tugasnya. Pemimpin beranggapan bahwa bila
setiap anggota melaksanakn tugasnya secara efektif dan efisien, pasti akan dicapai
hasil yang diharapkan sebagai penggabungan hasil yang dicapai masing-masing
anggota.
Gaya kepemimpinan yang berpola untuk mementingkan pelaksanaan
kerjasama, pemimpin berkeyakinan bahwa dengan kerjasama yang intensif,
efektif, dan efisien, semua tugas dapat dilaksanakan secara optimal. pelaksanakan
14
dan bagaimana tugas dilaksanakan berada diluar perhatian pemimpin, karena
yang penting adalah hasilnya bukan prosesnya. Namun jika hasilnya tidak seperti
yang diharapkan, tidak ada pilihan lain, selain mengganti pelaksananya tanpa
menghiraukan siapa orangnya. Pola dasar ini menggambarkan kecenderungan,
jika dalam organisasi tidak ada yang mampu, mencari pengganti dari luar
meskipun harus menyewa serta membayar tinggi.
Pemimpin hanya membuat beberapa keputusan penting pada tingkat tertinggi
dengan pemahaman yang konseptual. Pemimpin yang efektif dalam organisasi
menggunakan desentralisasi dalam membuat keputusannya. Hal tersebut
memberikan kewenangan pada bawahan serta melaksanakan sharing dalam
memutuskan suatu keputusan.
a. Pendekatan Perilaku Kepemimpinan
Prilaku kepemimpinan cenderung diekspreikan dalam dua gaya
kepemimpinan yang berbeda. Gaya kepemimpinan yang berorientasi pada
tugas dan gaya kepemimpinan yang berorientasi pada karyawan.10 Gaya
kepemimpinan yang berorientasi pada tugas menekankan pada pengawasan
yang ketat. Dengan pengawasan yang ketat dapat dipastikan bahwa tugas yang
diberikan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Gaya kepemimpinan ini lebih
menekankan pada tugas dan kurang dalam pembinaan karyawan.. Sedangakan
gaya kepemimpinan yang berorientasi pada karyawan, mengutamakan untuk
memotivasi dari mengontrol bawahan, dan bahkan dalam beberapa hal
10 Stoner dan Freeman, op.cit., p. 475.
15
bawahan ikut berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang terkait
dengan bawahan.
Kedua gaya kepemimpinan tersebut, dapat dirasakan oleh bawahan
secara langsung ketika pimpinan berinteraksi dengan bawahannya. Setiap
pemimpin memiliki gaya kepemimpinan yang berbeda, karena banyak faktor
yang mempengaruhinya. Bawahan pada umumnya cenderung loebih
menyukai gaya kepemimpinan yang berorientasi pada karyawan atau
bawahan, karena merasa lebih dihargai dan diperlakukan secara manusiawi,
memanusiakan manusia sehingga kan mempengaruhi tingkat produktivitas
kerja dan kepuasan kerja karyawan. Gaya kepemimpinan yang berorintasi
pada tugas, lebih menekankan pada penyelesaian tugas-tugas yang dibebankan
pada karyawan. Pimpinan pada umunya lebih memperhatikan hasil daripada
proses. Keadaan tersebut membentuk kondisi tempat kerja menjadi kurang
kondusif, karena masing-masing karyawan berkonsentrasi pada tugas yang
harus diselesaikan karena terikat waktu dan tanggungjawab.
b. Gaya Managerial Grid
Menurut Blake dan Mountoun, ada empat gaya kepemimpinan yang
dikelompokkan sebagai gaya yang ekstrem11, sedangkan lainnya hanya satu
gaya yang ditengah-tengah gaya ekstrem tersebut. Gaya kepemimpinan dalam
managerial grid yaitu: (1) Manajer tim yang nyata (the real team manager),
(2) Manajemen club (the country club management), (3) Tugas secara
11 Robert R Black dan Jane S. Mouton, The New Managerial Grid, Gulf Publishing, Houston, 1978.
16
otokratis (authocratic task managers), dan (4) Manajemen perantara
(organizational man management).
c. Teori Kepemimpinan Situasional
Dalam mengembangkan teori kepemimpinan situasional Hersey dan
Blanchard mengatakan bahwa gaya kepemimpinan yang paling efektif
berbeda-beda sesuai dengan kematangan bawahan. Kematangan atau
kedewasaan bukan sebagai sebatas usia atau emosional melainkan sebagai
keinginan untuk menerima tanggungjawab, dan kemampuan serta pengalaman
yang berhubungan dengan tugas. Hubungan antara pimpinan dan bawahan
bergerak melalui empat tahap yaitu: (a) hubungan tinggi dan tugas rendah, (b)
tugas rendah dan hubungan rendah, (c) tugas tinggi dan hubungan tinggi, dan
(d) tugas tinggi dan hubungan rendah.
Pimpinan perlu mengubah gaya kepemimpinan sesuai dengan
perkembangan setiap tahap, dan pada gambar di atas terdapat empat tahap.
Pada tahap awal, ketika bawahan pertama kali memasuki organisasi, gaya
kepemimpina yang berorientasi tugas paling tepat. Pada tahap dua, gaya
kepemimpina yang berorientasi tugas masih penting karena belum mampu
menerima tanggungjawab yang penuh. Namun kepercayaan dan dukungan
pimpinan terhadap bawahan dapat meningkat sejalan dengan makin akrabnya
dengan bawahan dan dorongan yang diberikan kepada bawahan untuk
berupaya lebih lanjut. Sedangkan pada tahap ketiga, kemampuan dan motivasi
prestasi bawahan meningkat, dan bawahan secara aktif mencari
17
tanggungjawab lebih besar, sehingga pemimpin tidak perlu lagi bersifat
otoriter. Dan pada tahap empat (akhir), bawahan lebih yakin dan mampu
mengarahkan diri, berpengalaman serta pimpinan dapat mnegurangi jumlah
dukungan dan dorongan. Bawahan sudah mampu berdiri sendiri dan tidak
memerlukan atau mengharapkan pengarahan yang detil dari pimpinannya.
Pelaksanaan gaya kepemimpinan situasional sangat tergantung dengan
kematangan bawahan, sehingga perlakuan terhadap bawahan tidak akan sama
baik dilihat dari umur atau masa kerja.
d. Gaya Kepemimpinan Fiedler
Di sini Fiedler mengembangkan suatu model yang dinamakan model
Kontingensi Kepemimpian yang Efektif(A Contingency Model of Leadership
Effectiveness) berhubungan anatar gaya kepemimpinan dengan situasi yang
menyenangkan. Adapun situasi yang menyenangkan itu diterangkan dalam
hubungannya dengan dimensi-dimensi sebagai berikut:
1) Derajat situasi dimana pemimpin menguasai, mengendalikan dan
mempengaruhi situasi.
2) Derajat situasi yang menghadapkan manajer dengan tidak kepastian.12
Gaya kepemimpinan diatas, sama dengan gaya kepemimpinan yang
berorientasi pada karyawan dan berorientasi pada tugas, seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya. Fiedler mengukur gaya kepemimpinan dengan skala
yang menunjukan tingkat seseorang menguraikan secara menguntungkan atau
12 T. Hani Handoko, Op. Cit, hal 311
18
merugikan rekan sekerjanya yang paling tidak disukai (LPC, Least Preferred
Co-worker), karyuawan yang hampir tidak dapat diajak bekerjasama dengan
orang tadi. Dalam hal ini ditentukan delapan kombinasi yang mungkin dari
tiga variabel dalam situasi kepemimpinan tersebut dapat menunjukan
hubungan antara pemimpin dengan anggota dapat baik atau buruk, tugas dapat
struktur, dan kekuasaan dapat kuat atau lemah. Pemimpin dengan LPC rendah
yang berorientasi tugas atau otoriter paling efekif dalam situasi ekstrem,
pemimpin mempunyai kekuasaan dan pengaruh amat besar atau mempunyai
kekuasaan dan pengaruh amat kecil.
e. Gaya Kepemimpinan Kontinum.
Tannenbaum dan Schmidt mengusulkan bahwa, seorang manajer perlu
mempertimbangkan tiga perangkat kekuatan sebelum memilih gaya
kepemimpinan yaitu: kekuatan yang ada dalam diri manajer sendiri, kekuatan
yang ada pada bawahan, dan kekuatan yang ada dalam situasi.
Sehubungan dengan teori tersebut terdapat tujuh tingkat hubungan
pemimpin dengan bawahan yaitu: (1) manajer mengambil keputusan dan
mengumumkannya, (2) manajer menjual keputusan, (3) manajer menyajikan
gagasan dan mengundang pertanyaan, (4) manajer menawarkan keputusan
sementara yang masih diubah, (5) manajer menyajikan masalah, menerima
saran, membuat keputusan, (6) manajer menentukan batas-batas, meminta
kelompok untuk mengambil keputusan, dan (7) manajer membolehkan
bawahan dalam batas yang ditetapkan atasan.
19
f. Gaya Kepemimpinan menurut Likert
Menurut Likert, bahwa pemimpin itu dapat berhasil jika bergaya
participative management, yaitu keberhasilan pemimpin adalah jika
berorientasi pada bawahan, dan mendasarkan komunikasi.13 Selanjutnya ada
empat sistem kepemimpinan dalam manajemen yaitu sebagai berikut:
1) Sistem 1, dalam sistem ini pemimpin bergaya otoriter (ekspoitiveauthoritive).
Pemimpin hanya mau memperhatikan pada komunikasi
yang turun ke bawah, dan hanya membatasi proses pengambilan
keputusan di tingkat atas saja.
2) Sistem 2, dalam sistem ini pemimpin dinamakan otokratis yang baik
hati (benevalent autthoritive). Pemimpin mempunyai kepercayaan
yang terselubung, percaya kepada bawahan, mau memotivasi dengan
hadiah-hadiah tetapi bawahan merasa tidak bebas untuk membicarakan
sesuatu yang berkaitan dengan tugas pekerjaannya dengan atasannya.
3) Sistem 3, dalam sistem ini gaya kepemimpinan yang konsultatif.
Pemimpin menentukan tujuan, dan mengemukakan pendapat berbagai
ketentuan yang bersifat umum, sesudah melalui proses diskusi dengan
para bawahan. Bawahan di sini merasa sedikit bebas untuk
membicarakan sesuatu yang berkaitan dengan tugas pekerjaan bersama
atasannya.
13 Thoha, op. cit., pp. 59-61
20
4) Sistem 4, dalam sistem ini dinamakan pemimpin yang bergaya
kelompok berparsipatif (participative group). Karena pemimpin dalam
penentuan tujuan dan pengambilan keputusan ditentukan bersama.
Bawahan merasa secara mutlak mendapat kebebasan untuk
membicarakan sesuatu yang berkaitan dengan tugasnya bersama
atasannya.
Dari keempat sistem diatas, sistem ke 4 mempunyai kesempatan untuk
sukses sebagai pemimpin, karena mempunyai organisasi yang lebih produktif.
Berdasarkan teori yang telah dikemukakan di atas, maka yang
dimaksud dengan gaya kepemimpinan dalam tulisan ini adalah penilaian
karyawan terhadap gaya kepemimpinan pemimpin atau atasan dalam
mempengaruhi bawahan untuk mencapai tujuan organisasi yang mencakup ke
dalam tiga aspek yaitu: gaya kepemimpinan yang berorientasi kepada tugas,
gaya kepemimpinan yang berorientasi pada bawahan, dan gaya kepemimpinan
yang berorientasi pada tingkat kematangan bawahan. Gaya kepemimpinan
pada tugas terdiri dari empat indikator yaitu: (1) Pengawasan yang ketat, (2)
pelaksanaan tugas, (3) memberi petunjuk, dan (4) mengutamakan hasil
daripada proses. Gaya kepemimpinan yang berorientasi pada bawahan terdiri
dari empat indikator yaitu: (1) melibatkan bawahan dalam pengambilan
keputusan, (2) memberi dukungan, (3) kekeluargaan, dan (4) kerjasama. Dan
gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tingkat kematangan bawahan
21
terdiri dari empat indikator yaitu: (1) ketekunan bekerja, (2) aktif, (3)
pengalaman
g. Kepemimpinan Transformasional Dalam MBS
Dalam Undang-Undang No.25 tahun 2000 tentang program
pembangunan nasional 2000-2004 untuk sektor pendidikan disebutkan akan
perlunya pelaksanaan manajemen otonomi pendidikan. Perubahan manajemen
pendidikan dari sentralistik ke disentralistik menuntut proses pengambilan
keputusan pendidikan menjadi lebih terbuka, dinamik dan demokratis. Untuk
pendidikan dasar dan menengah, proses pengambilan keputusan yang otonom
seperti itu dapat dilaksanakan secara efektif dengan menerapkan MBS. Dalam
melaksanakan MBS menurut Komite Reformasi Pendidikan, kepala sekolah
perlu memiliki kepemimpinan yang kuat, partisipatif, dan demokratis.
Kepemimpinan transformasional dapat dicirikan dengan adanya proses
untuk membangun komitmen bersama terhadap sasaran organisasi dan
memberikan kepercayaan kepada para pengikut untuk mencapai sasaran.
Dalam kepemimpinan transformasional menurut Burns, pemimpin mencoba
menimbulkan kesadaran dari para pengikut dengan menyerukan cita-cita yang
lebih tinggi dan nilai-nilai moral. Masih menurut Burns, kepemimpinan
transformasional berbeda dengan kepemimpinan transaksional yang
didasarkan atas kekuasaan birokratis dan memotivasi para pengikutnya demi
kepentingan diri sendiri.
22
Kepemimpinan transformational mampu mentransformasi dan memotivasi
para pengikutnya dengan cara :14 (1) membuat mereka sadar mengenai
pentingnya suatu pekerjaan,(2) mendorong mereka untuk lebih mementingkan
organisasi daripada kepentingan diri sendiri, dan (3) mengaktifkan kebutuhankebutuhan
pengikut pada tarap yang lebih tinggi. Tipe kepemimpinan
transformasional dapat sejalan dengan fungsi manajemen model MBS.
Pertama, adanya kesamaan yang paling utama, yaitu jalannya organisasi yang
tidak digerakkan oleh birokrasi, tetapi oleh kesadaran bersama. Kedua, para
pelaku mengutamakan kepentingan organisasi bukan kepentingan pribadi.
Ketiga, adanya partisipasi aktif dari pengikut atau orang yang dipimpin.
B. Manajemen Berbasis Sekolah
1. Pengertian
Secara bahasa, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) berasal dari tiga kata,
yaitu manajemen, berbasis, dan sekolah. Manajemen adalah proses menggunakan
sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran. Berbasis memiliki kata dasar
basis yang berarti dasar atau asas. Sekolah adalah lembaga untuk belajar dan
mengajar serta tempat untuk menerima dan memberikan pelajaran. Berdasarkan
makna leksikal tersebut maka MBS dapat diartikan sebagai penggunaan sumber
14 Nurkolis.2005. Manajemen Berbasis Sekolah, Jakarta : PT. Grasindo, cet ke 2, hal.172
23
daya yang berasaskan pada sekolah itu sendiri dalam proses pengajaran atau
pembelajaran.
Gagasan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), dalam Bahasa Inggris School-
Based Management pada dewasa ini menjadi perhatian para pengelolaan
pendidikan, mulai dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, sampai dengan
tingkat Sekolah. Sebagaimana dimaklumi, gagasan ini semakin mengemuka
setelah dikeluarkannya kebijakan desentralisasi pengelolaan pendidikan seperti
disyaratkan oleh UU Nomor 32 Tahun 2004. Produk hukum tersebut
mengisyaratkan terjadinya pergeseran kewenangan dalam pengelolaan pendidikan
dan melahirkan wacana akuntabilitas pendidikan. Gagasan MBS perlu dipahami
dengan baik oleh seluruh pihak yang berkepentingan (stakeholder) dalam
penyelenggaraan pendidikan, khususnya Sekolah, karena implementasi MBS
tidak sekedar membawa perubahan dalam kewenangan akademik Sekolah dan
tatanan pengelolaan Sekolah, akan tetapi membawa perubahan pula dalam pola
kebijakan dan orientasi partisipasi orang tua dan masyarakat dalam pengelolaan
Sekolah.
Mengemukakan MBS sebagai sistem pengelolaan persekolahan yang
memberikan kewenangan dan kekuasaan kepada institusi Sekolah untuk mengatur
kehidupan sesuai dengan potensi, tuntutan dan kebutuhan Sekolah yang
bersangkutan. 15Dalam MBS, Sekolah merupakan institusi yang memiliki full
authority and responsibility untuk secara mandiri menetapkan program-program
15 Ibid., hal. 19
24
pendidikan (kurikulum) dan implikasinya terhadap berbagai kebijakan Sekolah
sesuai dengan visi, misi, dan tujuan pendidikan yang hendak dicapai Sekolah.
Dalam konteks manajemen pendidikan menurut MBS, berbeda dari
manajemen pendidikan sebelumnya yang semua serba diatur dari pemerintah
pusat. Sebaliknya, manajemen pendidikan model MBS ini berpusat pada sumber
daya yang ada di sekolah itu sendiri. Dengan demikian, akan terjadi perubahan
paradigma manajemen sekolah, yaitu yang semula diatur oleh birokrasi di luar
sekolah menuju pengelolaan yang berbasis pada potensi internal sekolah itu
sendiri.
Dari asal usul peristilahan, MBS adalah terjemahan langsung dari School-
Based Management (SBM). Istilah ini mula-mula muncul di Amerika Serikat pada
tahun 1970-an sebagai alternatif untuk mereformasi pengelolaan pendidikan atau
sekolah. Reformasi itu dapat diperlukan karena kinerja sekolah selama puluhan
tahun tidak dapat menunjukan peningkatan yang berarti dalam memenuhii
tuntutan perubahan lingkungan sekolah.
Dengan demikian pada hakekatnya MBS merupakan desentralisasi
kewenangan yang memandang Sekolah secara individual. Sebagai bentuk
alternatif Sekolah dalam program desentralisasi bidang pendidikan, maka
otonomi diberikan agar Sekolah dapat leluasa mengelola sumberdaya dengan
mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan di samping agar Sekolah
lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat.
25
Secara umum manajemen berbasis sekolah/Sekolah dapat diartikan
sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada
sekolah dan mendorong pengambilan keputusan parsitipatif yang melibatkan
secara langsung semua warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan,
orangtua siswa, dan masyarakat) untuk meningkatkan mutu sekolah
berdasarkan kebijakan pendidikan nasional. Dengan otonomi yang lebih besar,
maka sekolah memiliki kewenangan yang lebih besar dalam mengelola
sekolahnya, sehingga sekolah lebih mandiri. Dengan kemandiriannya, sekolah
lebih berdaya dalam mengembangkan program yang, tentu saja, lebih sesuai
dengan kebutuhan dan potensi yang dimilikinya. Demikian juga, dengan
pengambilan keputusan partisipatif, yaitu pelibatan warga sekolah secara
langsung dalam pengambilan keputusan, maka rasa memiliki warga sekolah
dapat meningkat. Peningkatan rasa memiliki ini akan menyebabkan
peningkatan rasa tanggungjawab, dan peningkatan rasa tanggungjawab,dan
peningkatan rasa tanggungjawab akan meningkatkan dedikasi warga sekolah
terhadap sekolahnya. Inilah esensi pengambilan keputusan partisipatif. Baik
peningkatan otonomi sekolah maupun pengambilan keputusan partisipatif
tersebut kesemuanya ditujukan untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan
kebijakan pendidikan nasional yang berlaku.
26
2. Alasan dan Tujuan
MBS di Indonesia yang menggunakan model Manajemen Peningkatan
Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) muncul karena beberapa alasan sebagaimana
diungkapkan oleh Nurkolis antara lain16 pertama, sekolah lebih mengetahi
kekeuatan, kelemahan, peluang dan ancaman bagi dirinya sehingga sekolah dapat
mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang tersedia untuk memajukan
sekolahnya. Kedua, sekolah lebih mengetahui kebutuhannya. Ketiga, keterlibatan
warga sekolah dan masyarakat dalam pengmabilan keputusan dapat menciptakan
transparansi dan demokrasi yang sehat.
Menurut bank dunia, terdapat beberapa alasan diterapkannya MBS antara
lain alasan ekonomis, politis, professional, efisiensi administrasi, finansial,
prestasi siswa, akuntabilitas, dan efektifitas sekolah.
Tujuan penerapan MBS adalah untuk meningkatkan kualitas pendidikan
secara umum baik itu menyangkut kualitas pembelajaran, kualitas kurikulum,
kualitas sumber daya manusia baik guru maupun tenaga kependidikan lainnya,
dan kualitas pelayanan pendidikan secara umum.17 Bagi sumber daya manusia,
peningkatan kualitas bukan hanya meningkatnya pengetahuan dan
ketrampilannya, melainkan meningkatkan kesejahteraanya pula.
Keuntungan-keuntungan penerapan MBS sebagaimana dikutip dari hasil
pertemuan The American Association of School Administration, The National
16 Nurkolis. 2003. Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
hal. 21
17 Ibid. hal. 24
27
Association of Elementary School Principal, The National of Secondary School
Principal pada tahun 1998 adalah:18 Pertama, secara formal MBS dapat
memahami keahlian dan kemampuan orang-orang yang bekerja di sekolah.
Kedua, meningkatkan moral guru. Ketiga, keputusan yang diambil sekolah
mengalami akuntabilitas. Hal ini terjadi karena konstituen seklah mengalami andil
yang cukup dalam setiap pengambilan kepurusan. Keempat, menyesuaikan
sumber keuangan terhadap tujuan instruksioanl yang dikembangkan di sekolah.
Kelima, menstimulasi munculnya pemimpin baru di sekolah. Keputusan yang
diambil pada tingkat sekolah tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya peran
seorang pemimpin. Keenam, meningkatkan kualitas, kuantitas, dan fleksibilitas
komunikasi tiap komunitas sekolah dalam rangka mencapai kebutuhan sekolah.
3. Strategi Implementasi MBS
MBS merupakan strategi peningkatan kualitas pendidikan melalui
otoritas pengambilan keputusan dari pemerintah daerah ke sekolah. Dalam hal
ini sekolah dipandang sebagai unit dasar pengembangan yang bergantung pada
redistribusi otoritas pengambilan keputusan di dalamnya terkandung
desentralisasi kewenangan yang diberikan kepada sekolah untuk membuat
keputusan.19 Dengan demikian pada hakekatnya MBS merupakan desentralisasi
kewenangan yang memandang Sekolah secara individual. Sebagai bentuk
alternative Sekolah dalam program desentralisasi bidang pendidikan, maka
18 Ibid, hal. 25
19 Op.,Cit, hal.45
28
otonomi diberikan agar Sekolah dapat leluasa mengelola sumber daya dengan
mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan disamping agar Sekolah
lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat.
Merupakan suatu model manajemen yang memberikan otonomi lebih
besar kepada Sekolah dan mendorong Sekolah untuk melakukan pengambilan
keputusan secara partisipatif dalam memenuhi kebutuhan mutu Sekolah atau
untuk mencapai sasaran mutu Sekolah. Keputusan partisipatif yang dimaksud
adalah cara pengambilan keputusan melalui penciptaan lingkungan yang
terbuka dan demokratik, dimana warga Sekolah (guru, siswa, karyawan,
orangtua siswa, tokoh masyarakat) didorong untuk terlibat langsung dalam
proses pengambilan keputusan yang dapat berkonstribusi terhadap pencapaian
tujuan Sekolah.
MBS menyediakan layanan pendidikan yang komprehensif dan
tanggap terhadap kebutuhan masyarakat Sekolah setempat. Karena siswa
biasanya datang dari berbagai latar belakang kesukuan dan tingkat sosial,
salah satu perhatian Sekolah harus ditujukan pada asas pemerataan (peluang
yang sama untuk memperoleh kesempatan dalam bidang sosial, ekonomi, dan
politik) Di lain pihak, Sekolah juga harus meningkatkan efisiensi, partisipasi,
dan mutu serta bertanggung jawab kepada masyarakat dan pemerintah. Ciri-ciri
MBS, bisa diketahui antara lain dari sudut sejauh mana Sekolah dapat
mengoptimalkan kemampuan manajemen Sekolah, terutama dalam
pemberdayaan sumber daya yang ada menyangkut Sumber Daya Kepala
29
Sekolah dan Guru, partisipasi masyarakat, pendapatan daerah dan orang tua,
juga anggaran Sekolah sebagaimana terlihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 1. Kemampuan Manajemen Sekolah
Kemampuan
Sekolah
Kepala Sekolah
dan Guru
Partisipasi
Masyarakat
Pemdapatan
Daerah dan
Orang Tua
Anggaran
Sekolah
1. Sekolah
dengan kemampuan
manajemen
tinggi
Kepala Sekolah
dan guru berkompetensi
tinggi
(termasuk kepemimpinan
Partisipasi
masyarakat tinggi
(termasuk dukungan
dana)
Pendapatan daerah
dan orang tua
tinggi
Anggaran sekolah
di luar anggaran
pemerintah
besar
2. Sekolah
dengan kemampuan
manajemen
sedang
Kepala Sekolah
dan guru berkompetensi
sedang
(termasuk
kepemimpinan
Partisipasi
masyarakat sedang
(termasuk
dukungan dana)
Pendapatan daerah
dan orang tua
sedang
Anggaran sekolah
di luar anggaran
pemerintah
sedang
3. Sekolah
dengan kemampuan
manajemen
rendah
Kepala Sekolah
dan guru berkompetensi
rendah
(termasuk
kepemimpinan
Partisipasi
masyarakat kurang
(termasuk
dukungan dana)
Pendapatan daerah
dan orang tua
rendah
Anggaran sekolah
di luar anggaran
pemerintah
kecil atau tidak
ada
Sumber : Tabel dari Sulaeman Hariadi dari makalah berjudul Manajemen
Berbasis Sekolah dalam Kerangka Desentralisasi Pendidikan di Jakarta,
Program S-2 UNJ Tahun 1999.
Jurnal pendidikan UNJ
Secara konsepsional Manajemen Berbasis Sekolah diharapkan
membawa dampak terhadap peningkatan kerja Sekolah dalam hal mutu,
efisiensi manajemen keuangan, pemerataan kesempatan, dan pencapaian
tujuan politik (perkembangan iklim demokrasi) suatu bangsa lewat perubahan
30
kebijakan desentralisasi di berbagai aspek seperti politik, edukatif, administrasi,
manajemen dan anggaran pendidikan.
Konsekuensi penerapan manajemen berbasis Sekolah (MBS)
menjadi tanggung jawab dan ditangani oleh Sekolah secara profesional.
Aspek-aspek yang menjadi bidang garapan Sekolah meliputi:
a. Perencanaan dan evaluasi program Sekolah,
b. Pengelolaan kurikulum yang bersifat inklusif,
c. Pengelolaan proses belajar mengajar,
d. Pengelolaan ketenagaan
e. Pengelolaan perlengkapan dan peralatan,
f. Pengelolaan keuangan
g. Pelayanan siswa
h. Hubungan Sekolah-masyarakat
i. Pengelolaan iklim Sekolah.
Seperti telah dinyatakan di atas, konsep Manajemen Berbasis Sekolah
dalam prakteknya menggambarkan sifat-sifat otonomi Sekolah, dan oleh
karenanya sering pula disebut sebagai Site-Based Management, yang merujuk
pada perlunya memperhatikan kondisi dan potensi kelembagaan setempat
dalam mengelola Sekolah. Makna "berbasis Sekolah" dalam konsep MBS sama
sekali tidak meninggalkan kebijakan-kebijakan startegis yang ditetapkan oleh
pemerintah pusat atau daerah otonomi. Misalnya, standar kompetensi siswa,
standar materi pelajaran pokok, standar penguasaan minimum, standar
pelayanan minimum, penetapan kalender pendidikan dan jumlah jam belajar
efektif setiap tahun dan lain-lain (lihat UU No. 20/2003 Pasal 51 PP Nomor 25
tahun 2000 yang telah diubah dengan PP Nomor 33 Tahun 2004 tentang
31
Kewenangan Pemerintah Pusat dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah
Otonom).
Menurut Buku pedoman MBS yang diterbitkan Ditjen Kelembagaan
Agama Islam, 2004. ada empat tahapan implementasi MBS, yaitu sosialisasi,
piloting, pelaksanaan, dan diseminasi. Tahap sosialisasi merupakan tahap
penting mengingat luasnya wilayah nusantara terutama daerah-daerah yang sulit
dijangkau oleh media informasi, baik cetak maupun elektronik. Ini bahkan
menjadi lebih sulit, karena masyarakat Indonesia pada umumnya tidak mudah
menerima perubahan. Banyak perubahan, baik personal maupun organisasional
memerlukan pengetahuan dan keterampilan baru. Dengan begitu masyarakat
dapat beradaptasi lebih baik dengan lingkungan yang baru. Dalam
mengefektifkan pencapaian tujuan perubahan, diperlukan kejelasan tujuan dan
cara yang tepat, baik menyangkut aspek proses maupun pengembangan.
Tahap piloting merupakan tahap uji coba agar penerapan konsep
manajemen berbasis Sekolah tidak mengandung resiko. Efektifitas model uji
coba memerlukan persyaratan dasar yaitu akseptabilitas, akuntabilitas,
reflikabilitas dan substainabilitas. Akseptabilitas artinya adanya penerimaan
dari para tenaga kependidikan, khususnya guru dan kepala Sekolah sebagai
pelaksana dan penanggungjawab pendidikan di Sekolah. Akuntabilitas artinya
bahwa program MBS harus dapat dipertanggungjawabkan, baik secara konsep
opersional maupun pendanaannya. Reflikabilitas artinya model MBS yang
diujicobakan dapat direflikasi di Sekolah lain sehingga perlakuan yang
32
diberikan kepada Sekolah uji coba dapat dilaksanakan di Sekolah lain.
Sementara sustainabilitas artinya program tersebut dapat dijaga
kesinambungannya setelah dilakukan ujicoba.
Tahap pelaksanaan merupakan tahap untuk melakukan berbagai diskusi
curah pendapat dan lokakarya mini antara kelompok kerja MBS dengan
berbagai unsure terkait, yakni guru, kepala Sekolah, pengawas, tokoh agama,
pengusaha dan para akademisi. Sedang tahap diseminasi merupakan tahapan
memasyarakatkan model MBS yang telah diujicobakan ke berbagai Sekolah
baik negeri maupun swasta, agar seluruh amdrasah dapat mengimplementasikan
MBS secara efektif dan efisien sesuai dengan kondisi masing-masing.
Kewenangan yang penuh dan luas bagi Sekolah untuk mengembangkan
lembaga menjadi sebuah pendidikan yang mandiri maju dan mandiri serta
bertanggungjawab terimplementasikan dalam bentuk manajemen yang berbasis
Sekolah. Kepala Sekolah perlu memiliki pengetahuan kepemimpinan,
perencanaan dan pandangan yang luas tentang kependidikan. Wibawa Kepala
Sekolah harus ditumbuhkembangkan dengan meningkatkan sikap kepedulian,
semangat belajar, disiplin kerja keteladanan dan hubungan manusiawi sebagai
modal perwujudan iklim kerja yang kondusif.
Impelementasi MBS di Indonesia perlu didukung oleh perubahan
mendasar dalam kebijakan pengelolaan Sekolah, dengan memperhatikan iklim
lembaga yang kondusif, otonomi Sekolah, kewajiban Sekolah,kepemimpinan
kepala Sekolah yang demokratis dan professional, serta partisipasi masyarakat
dan orangtua peserta didik dalam perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan,
pengawasan pendidikan di Sekolah.
33
4. Komponen MBS
Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Agama dan
Keagamaan Depag RI lebih mendapatkan kata kunci diberlakukannya MBS,
yaitu terletak pada empat komponen :20
a. Pelimpahan dan Pembagian Wewenang
Desentralisasi kewenangan dilakukan dengan cara pelimpahan
wewenang kepada aktor tingkat Sekolah (kepala Sekolah, guru, dan oran
tua) untuk mengambil keputusan. Untuk mengoperasikan pelimpahan
wewenang tersebut dibutuhkan adanya pembagian kewenangan yang jelas
antara dewan Sekolah, pemerintah maupun para pelaksana pendidikan di
Sekolah. Dewan Sekolah yang anggotanya terdiri dari kepala Sekolah,
tokoh masyarakat, tokoh pemerintah, orang tua, guru dan murid diberi
kewenangan untuk membuat kebijakan, aturan-aturan dan menyetujui
program Sekolah yang dilaksanakan. Pemerintah memiliki kewenangan
untuk menyiapkan anggaran (block grant quota), menetapkan kurikulum
nasional serta menyelenggarakan Unas untuk sertifikasi lanjutan studi dan
bekerja.
b. Informasi Dua Arah dan Tanggung Jawab Untuk Kemajuan
Informasi bersifat dua arah, yaitu top down (dari atas ke bawah) dan
botom up (dari bawah ke atas) yang berisi tentang ide, isu-isu dan gagasan
20 Depad RI.2001.Perencanaan Pendidikan Menuju Madrasah Mandiri, Jakrta : Balitbang,
hal.32-34
34
pelaksanaan pelaksanaan tugas serta kinerja, produktivitas sikap pegawai.
Informasi yang dua arah akan memungkinkan terjadinya proses komunikasi
yang dialogis dan efektif sehingga semua pihak yang terlibat dalam
penyelenggaraan pendidikan dapat berbagi informasi dalam upaya
pengambilan keputusan atau perbaikan-perbaikan penyelenggaraan
pendidika. Selain itu, desentralisasi informasi juga bermanfaat untuk
menguatkan rasa pemilikan dan tanggung jawab bersama untuk memajukan
Sekolah atau pendidikan.
c. Bentuk dan Distribusi Penghargaan
Penghargaan dalaam bentuk penggajian, insentif maupun
penghargaan non material dalam bentuk internal (produk kerja, kepuasan
kerja) maupun bentuk penghargaan eksternal (pujian, uang, dan
penghargaan lainnya) akan terdistribusikan secara tepat terhadap individuindividu
sesuai dengan kontribusi, partisipasi dan tingkat keberhasilannya
di dalam pelaksanaan tugas yang diembannya. Kondisi seperti itu akan
memungkinkan setiap pegawai untuk merasa bangga terhadap tugas yang
diembannya, mendorong untuk berpartisipasi/bekerja sepenuhnya serta
akan bertanggung jawab terhadap segala keputusan dan tindakan yang
dilakukannya.
d. Penetapan Standar Pengetahuan dan Keterampilan
Desentralisasi pengetahuan dan keterampilan berkaitan erat dengan
pentapan standar kompetensi yang variatif sesuai dengan tuntutan yang ada
35
serta memberikan peluang kepada pihak-pihak pelaksana pendidikan untuk
senantiasa meningkatkan kompetensinya secara mandiri dengan penuh
kesadaran dan bertanggung jawab terhadap kinerja yang dihasilkannya.
Kondisi tersebut diharapkan akan menghilangkan sikap saling
melemparkan tanggung jawab atas hasil pendidikan.
5. Faktor Pendukung Keberhasilan Implementasi MBS
Dalam buku Pedoman Manajemen Berbasis Sekolah dikaitkan bahwa
keberhasilan pelaksanaan MBS sangat dipengaruhi oleh berbagai fakta,baik
faktor internal maupun eksternal. Beberapa faktor pendukung tersebut pada
garis besarnya mencakup sosialisasi peningkatan kualitas pendidikan, gerakan
peningkatan kualitas pendidikan dan gotongroyong kekeluargaan, potensi
sumber daya manusia, organisasi formal dan internal, organisasi profesi serta
dukungan dunia usaha dan dunia industri.
a. Sosialisasi peningkatan kualitas pendidikan
Pemerintah dan seluruh stake halder pendidikan perlu terus
melakukan sosialisasi peningkatan kualitas pendidikan di berbagai wilayah
kerjanya, baik dalam pertemuan-pertemuan resmi maupun melalui orientasi
dan workshop.
b. Gerakan Peningkatan Kualitas Pendidikan Yang Dicanangkan Pemerintah
Upaya meningkatkan kualitas pendidikan terus menerus dilakukan,
baik secara konvensional maupun movatif. Hal tersebut lebih terfokus lagi
36
setelah diamanatkan dalam Undang-undang Sisdiknas bahwa tujuan
pendidikan nasional adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui
peningkatan kualitas pendidikan kepada setiap jenis dan jenjang pendidikan
Pemerintah, dalam hal ini Menteri Pendidikan Nasional telah
mencanangkan .Gerakan Peningkatan Mutu Pendidikan . pada tanggal 2
Mei 2002
c. Gotong Royong Dalam Kekeluargaan
Gotongroyong dan kekeluagaan dapat menghasilkan dampak positif
(synergistyc effect) dalam berbagai aktifitas. Gotongroyong dan
kekeluargaan yang membudaya dalam kehidupan masyarakat Indonesia
masih dapat dikembangkan dalam mewujudkan Kepala Sekolah yang
profesional, menuju terwujudnya visi pendidikan menjadi aksi nyata di
Sekolah. Kondisi ini dapat ditumbuhkembangkan melalui jalinan
kerjasama dan keeratan hubungan dengan msyarakat dan dunia kerja,
terutama yang berada di lingkungan Sekolah.
d. Potensi Kepala Sekolah.
Kepala Sekolah memiliki berbagai potensi yang dapat
dikembangkan secara optimal. Setiap kepala Sekolah harus memiliki
perhatian yang cukup tinggi terhadap peningkatan kualitas pendidikan di
Sekolah. Perhatian tersebut harus ditunjukan dalam keamanan dan
kemampuan untuk mengembangkan diri dan Sekolahnya secara optimal.
e. Organisasi Formal dan Optimal
37
Pada sebagian besar lingkungan pendidikan Sekolah di berbagai
wilayah Indonesia, dari Sabang sampai Merauke umumnya telah memiliki
organisasi formal terutama yang berhubungan dengan profesi pendidikan
seperti Kelompok Kerja Pengawas Sekolah (Pokjamas), Kelompok Kerja
Sekolah (KKM), Musyawarah Kepala Sekolah (MKM), Dewan
Pendidikan, dan Komite Sekolah. Organisasi-organisasi tersebut sangat
mendukung MBS untuk melakukan berbagai terobosan dalam peningkatan
kualitas pendidikan diwilayah kerjanya.
f. Organisasi Profesi
Organisasi profesi pendidikan sebagai wadah untuk membantu
pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan seperti Pokjawas,
KKM, Kelompok Kerja guru (KKG), Musyawarah Guru Mata Pelajaran
(MGMP), Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Forum Peduli Guru
(FPG), dan ISPI (Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia) sudah terbentuk
hampir diseluruh Indonesia, dan telah menyentuh berbagai kecamatan.
Organisasi profesi tersebut sangant mendukung implementasi MBS dalam
peningkatan kinerja dan prestasi belajar peserta didik menuju peningkatan
kualitas pendidikan nasional
g. Harapan Terhadap Kualitas Pendidikan
MBS sebagai paradigma baru manajemen pendidikan
mempunyai harapan yang tinggi untuk meningkatkan kualitas pendidikan,
serta komitmen dan motivasi yang kuat untuk meningkatakan mutu
38
Sekolah secara optimal. Tenaga kependidikan memiliki komitmen dan
harapan yang tinggi bahwa peserta didik dapat mencapai prestasi yang
optimal meskipun dengan segala keterbatasan sumber daya pendidikan
yang ada di Sekolah. Dalam pada itu, peserta didik juga termotivasi untuk
secara sadar meningkatkan diri dalam mencapai prestasi sesuai bakat dan
kemampuan yang dimiliki. Harapan tinggi dari berbagai dimensi Sekolah
merupakan faktor dominan yang menyebabkan Sekolah selalu dinamis
untuk melakukan perbaikan secara berkelanjutan (continous quality
improvement).
h. Input Manajemen
Paradigma baru manajemen pendidikan perlu ditunjang oleh input
manajemen yang memadai dalam menjalankan roda Sekolah dan
mengelola Sekolah secara efektif. Input manajemen yang telah dimiliki
seperti tugas yang jelas, rencana yang rinci dan sistematis, program yang
mendukung implementasi, ketentuan-ketentuan (aturan main) yang jelas
dari warga Sekolah dalam bertindak, serta adanya sistem pengendalian
mutu yang handal untuk meyakinkan bahwa tujuan yang telah dirumuskan
dapat diwujudkan di Sekolah.
Pada buku pedoman implementasi manajemen berbasis Sekolah yang
diterbitkan oleh Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Jakarta, 2002.
39
bahwa faktor pendukung keberhasilan MBS terdiri dari :21
a. Kepenmimpinan dan manajemen Sekolah yang baik. MBS akan jika
ditopang oleh kemampuan professional Kepala Sekolah dalam memimpin
dan mengelola Sekolah secara tepat dan akurat, serta mampu menciptakan
iklim organisasi di Sekolah yang mendukung terjadinya proses belajar
mengajar.
b. Keadaan social ekonomi dan penghayatan masyarakat terhadap pendidikan,
factor luar yang akan turut menentukan keberhasilan MBS adalah keadaan
tingkat pendidikan orangtua siswa dan masyarakat. Kemampuan dalam
membiayai pendidikan, serta tingkat penghayatan, harapan dan pelibatan
diri dalam mendorong anak untuk terus belajar.
c. Dukungan pemerintah, hal yang sangat menentukan tingkat keberhasilan
penerapan MBS terutama bagi Sekolah yang kemampuan orang
tua/masyarakatnya relatif belum siap memberikan perannya terhadap
penyelenggaraan pendidikan. Alokasi dana pemerintah dan pemberian
kewenangan dalam pengelolaan Sekolah menjadi penentu keberhasilan.
d. Profesionalisme, faktor ini sangat strategis dalam upaya menentukan mutu
dan hasil kerja Sekolah. Tanpa profesionalisme kepala Sekolah, guru dan
pengawas akan sulit dicapai MBS yang bermutu tinggi serta prestasi siswa
yang tinggi pula.
21 Ibid.,hal. .45

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2001. Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah: Buku I Konsep Pelaksanaan.
Jakarta: Direktorat SLP Dirjen Dikdasmen Depdiknas.
AS. Hornby. 1990. Oxford Edvanced Dictionary of English. London: Oxford
University Press.
Costa, Vincent. P. 2000. Panduan Pelatihan untuk Pengembangan Sekolah. Jakarta:
Depdiknas.
Depag RI.2001.Perencanaan Pendidikan Menuju Madrasah Mandiri, Jakarta:
Balitbang
Depdiknas.2001. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Jakarta:
Direktorat Pendidikan Menengah Umum
Djamaluddin, M. Arif. 1977. Sistem Perencanaan Pembuatan Program dan
Anggaran, Suatu Pengantar. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Effendy, Onong Uchjana. 1977. Kepemimpinan dan Komunikasi. Jakarta: Gunung
Agung.
Flippo, Edwin B. 1984. Personnel Management, sixth edition. New York: Mc. Graw-
Hill Book Company.
Fred C. Lunenburg & Allan C. Ornstein, Education Administration: Concepts and
Practices (California: Wadsworth, Inc).
Hadari Nawawi dan M. Martini Hadari, Kepemimpinan yang Efektif (Yogjakarta:
Gajah Mada University Press, 1995),
Handoko, T. Hani. 1999. Manajemen edisi 2. Yogyakarta: BPFE
Nitisemito, Alex. 1982. Manajemen Personalia (Manajemen Sumber Daya Manusia.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Nurkolis. 2003. Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana
Indonesia
Nurkolis.2005. Manajemen Berbasis Sekolah, Jakarta: PT. Grasindo, cet ke 2,