Senin, 21 Februari 2011

Teknik Sampling

TEKNIK SAMPLING
Marthinus Arruan,S.Pd /2010
Sampel adalah sebagian dari populasi. Artinya tidak akan ada sampel jika tidak ada populasi. Populasi adalah keseluruhan elemen atau unsur yang akan kita teliti. Penelitian yang dilakukan atas seluruh elemen dinamakan sensus. Idealnya, agar hasil penelitiannya lebih bisa dipercaya, seorang peneliti harus melakukan sensus. Namun karena sesuatu hal peneliti bisa tidak meneliti keseluruhan elemen tadi, maka yang bisa dilakukannya adalah meneliti sebagian dari keseluruhan elemen atau unsur tadi.
Berbagai alasan yang masuk akal mengapa peneliti tidak melakukan sensus antara lain adalah,(a) populasi demikian banyaknya sehingga dalam prakteknya tidak mungkin seluruh elemen diteliti; (b) keterbatasan waktu penelitian, biaya, dan sumber daya manusia, membuat peneliti harus telah puas jika meneliti sebagian dari elemen penelitian; (c) bahkan kadang, penelitian yang dilakukan terhadap sampel bisa lebih reliabel daripada terhadap populasi – misalnya, karena elemen sedemikian banyaknya maka akan memunculkan kelelahan fisik dan mental para pencacahnya sehingga banyak terjadi kekeliruan. (Uma Sekaran, 1992); (d) demikian pula jika elemen populasi homogen, penelitian terhadap seluruh elemen dalam populasi menjadi tidak masuk akal, misalnya untuk meneliti kualitas jeruk dari satu pohon jeruk
Agar hasil penelitian yang dilakukan terhadap sampel masih tetap bisa dipercaya dalam artian masih bisa mewakili karakteristik populasi, maka cara penarikan sampelnya harus dilakukan secara seksama. Cara pemilihan sampel dikenal dengan nama teknik sampling atau teknik pengambilan sampel .
Populasi atau universe adalah sekelompok orang, kejadian, atau benda, yang dijadikan obyek penelitian. Jika yang ingin diteliti adalah sikap konsumen terhadap satu produk tertentu, maka populasinya adalah seluruh konsumen produk tersebut. Jika yang diteliti adalah laporan keuangan perusahaan “X”, maka populasinya adalah keseluruhan laporan keuangan perusahaan “X” tersebut, Jika yang diteliti adalah motivasi pegawai di departemen “A” maka populasinya adalah seluruh pegawai di departemen “A”. Jika yang diteliti adalah efektivitas gugus kendali mutu (GKM) organisasi “Y”, maka populasinya adalah seluruh GKM organisasi “Y”

Elemen/unsur adalah setiap satuan populasi. Kalau dalam populasi terdapat 30 laporan keuangan, maka setiap laporan keuangan tersebut adalah unsur atau elemen penelitian. Artinya dalam populasi tersebut terdapat 30 elemen penelitian. Jika populasinya adalah pabrik sepatu, dan jumlah pabrik sepatu 500, maka dalam populasi tersebut terdapat 500 elemen penelitian.

Syarat sampel yang baik
Secara umum, sampel yang baik adalah yang dapat mewakili sebanyak mungkin karakteristik populasi. Dalam bahasa pengukuran, artinya sampel harus valid, yaitu bisa mengukur sesuatu yang seharusnya diukur. Kalau yang ingin diukur adalah masyarakat Sunda sedangkan yang dijadikan sampel adalah hanya orang Banten saja, maka sampel tersebut tidak valid, karena tidak mengukur sesuatu yang seharusnya diukur (orang Sunda). Sampel yang valid ditentukan oleh dua pertimbangan.
Pertama : Akurasi atau ketepatan , yaitu tingkat ketidakadaan “bias” (kekeliruan) dalam sample. Dengan kata lain makin sedikit tingkat kekeliruan yang ada dalam sampel, makin akurat sampel tersebut. Tolok ukur adanya “bias” atau kekeliruan adalah populasi.
Cooper dan Emory (1995) menyebutkan bahwa “there is no systematic variance” yang maksudnya adalah tidak ada keragaman pengukuran yang disebabkan karena pengaruh yang diketahui atau tidak diketahui, yang menyebabkan skor cenderung mengarah pada satu titik tertentu. Sebagai contoh, jika ingin mengetahui rata-rata luas tanah suatu perumahan, lalu yang dijadikan sampel adalah rumah yang terletak di setiap sudut jalan, maka hasil atau skor yang diperoleh akan bias. Kekeliruan semacam ini bisa terjadi pada sampel yang diambil secara sistematis
Contoh systematic variance yang banyak ditulis dalam buku-buku metode penelitian adalah jajak-pendapat (polling) yang dilakukan oleh Literary Digest (sebuah majalah yang terbit di Amerika tahun 1920-an) pada tahun 1936. (Copper & Emory, 1995, Nan lin, 1976). Mulai tahun 1920, 1924, 1928, dan tahun 1932 majalah ini berhasil memprediksi siapa yang akan jadi presiden dari calon-calon presiden yang ada. Sampel diambil berdasarkan petunjuk dalam buku telepon dan dari daftar pemilik mobil. Namun pada tahun 1936 prediksinya salah. Berdasarkan jajak pendapat, di antara dua calon presiden (Alfred M. Landon dan Franklin D. Roosevelt), yang akan menang adalah Landon, namun meleset karena ternyata Roosevelt yang terpilih menjadi presiden Amerika.
Setelah diperiksa secara seksama, ternyata Literary Digest membuat kesalahan dalam menentukan sampel penelitiannya . Karena semua sampel yang diambil adalah mereka yang memiliki telepon dan mobil, akibatnya pemilih yang sebagian besar tidak memiliki telepon dan mobil (kelas rendah) tidak terwakili, padahal Rosevelt lebih banyak dipilih oleh masyarakat kelas rendah tersebut. Dari kejadian tersebut ada dua pelajaran yang diperoleh : (1), keakuratan prediktibilitas dari suatu sampel tidak selalu bisa dijamin dengan banyaknya jumlah sampel; (2) agar sampel dapat memprediksi dengan baik populasi, sampel harus mempunyai selengkap mungkin karakteristik populasi (Nan Lin, 1976).
Kedua : Presisi. Kriteria kedua sampel yang baik adalah memiliki tingkat presisi estimasi. Presisi mengacu pada persoalan sedekat mana estimasi kita dengan karakteristik populasi. Contoh : Dari 300 pegawai produksi, diambil sampel 50 orang. Setelah diukur ternyata rata-rata perhari, setiap orang menghasilkan 50 potong produk “X”. Namun berdasarkan laporan harian, pegawai bisa menghasilkan produk “X” per harinya rata-rata 58 unit. Artinya di antara laporan harian yang dihitung berdasarkan populasi dengan hasil penelitian yang dihasilkan dari sampel, terdapat perbedaan 8 unit. Makin kecil tingkat perbedaan di antara rata-rata populasi dengan rata-rata sampel, maka makin tinggi tingkat presisi sampel tersebut.
Belum pernah ada sampel yang bisa mewakili karakteristik populasi sepenuhnya. Oleh karena itu dalam setiap penarikan sampel senantiasa melekat keasalahan-kesalahan, yang dikenal dengan nama “sampling error” Presisi diukur oleh simpangan baku (standard error). Makin kecil perbedaan di antara simpangan baku yang diperoleh dari sampel (S) dengan simpangan baku dari populasi (, makin tinggi pula tingkat presisinya. Walau tidak selamanya, tingkat presisi mungkin bisa meningkat dengan cara menambahkan jumlah sampel, karena kesalahan mungkin bisa berkurang kalau jumlah sampelnya ditambah ( Kerlinger, 1973 ). Dengan contoh di atas tadi, mungkin saja perbedaan rata-rata di antara populasi dengan sampel bisa lebih sedikit, jika sampel yang ditariknya ditambah. Katakanlah dari 50 menjadi 75.
Di bawah ini digambarkan hubungan antara jumlah sampel dengan tingkat kesalahan seperti yang diuarakan oleh Kerlinger

besar
kesa-
lahan
kecil
kecil besarnya sampel besar

Ukuran sampel
Ukuran sampel atau jumlah sampel yang diambil menjadi persoalan yang penting manakala jenis penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian yang menggunakan analisis kuantitatif. Pada penelitian yang menggunakan analisis kualitatif, ukuran sampel bukan menjadi nomor satu, karena yang dipentingkan alah kekayaan informasi. Walau jumlahnya sedikit tetapi jika kaya akan informasi, maka sampelnya lebih bermanfaat.
Dikaitkan dengan besarnya sampel, selain tingkat kesalahan, ada lagi beberapa faktor lain yang perlu memperoleh pertimbangan yaitu, (1) derajat keseragaman, (2) rencana analisis, (3) biaya, waktu, dan tenaga yang tersedia . (Singarimbun dan Effendy, 1989). Makin tidak seragam sifat atau karakter setiap elemen populasi, makin banyak sampel yang harus diambil. Jika rencana analisisnya mendetail atau rinci maka jumlah sampelnya pun harus banyak. Misalnya di samping ingin mengetahui sikap konsumen terhadap kebijakan perusahaan, peneliti juga bermaksud mengetahui hubungan antara sikap dengan tingkat pendidikan. Agar tujuan ini dapat tercapai maka sampelnya harus terdiri atas berbagai jenjang pendidikan SD, SLTP. SMU, dan seterusnya.. Makin sedikit waktu, biaya , dan tenaga yang dimiliki peneliti, makin sedikit pula sampel yang bisa diperoleh. Perlu dipahami bahwa apapun alasannya, penelitian haruslah dapat dikelola dengan baik (manageable).
Misalnya, jumlah bank yang dijadikan populasi penelitian ada 400 buah. Pertanyaannya adalah, berapa bank yang harus diambil menjadi sampel agar hasilnya mewakili populasi?. 30?, 50? 100? 250?. Jawabnya tidak mudah. Ada yang mengatakan, jika ukuran populasinya di atas 1000, sampel sekitar 10 % sudah cukup, tetapi jika ukuran populasinya sekitar 100, sampelnya paling sedikit 30%, dan kalau ukuran populasinya 30, maka sampelnya harus 100%.
Ada pula yang menuliskan, untuk penelitian deskriptif, sampelnya 10% dari populasi, penelitian korelasional, paling sedikit 30 elemen populasi, penelitian perbandingan kausal, 30 elemen per kelompok, dan untuk penelitian eksperimen 15 elemen per kelompok (Gay dan Diehl, 1992).
Roscoe (1975) dalam Uma Sekaran (1992) memberikan pedoman penentuan jumlah sampel sebagai berikut :
1. Sebaiknya ukuran sampel di antara 30 s/d 500 elemen
2. Jika sampel dipecah lagi ke dalam subsampel (laki/perempuan, SD?SLTP/SMU, dsb), jumlah minimum subsampel harus 30
3. Pada penelitian multivariate (termasuk analisis regresi multivariate) ukuran sampel harus beberapa kali lebih besar (10 kali) dari jumlah variable yang akan dianalisis.
4. Untuk penelitian eksperimen yang sederhana, dengan pengendalian yang ketat, ukuran sampel bisa antara 10 s/d 20 elemen.
Krejcie dan Morgan (1970) dalam Uma Sekaran (1992) membuat daftar yang bisa dipakai untuk menentukan jumlah sampel sebagai berikut (Lihat Tabel)

Populasi (N) Sampel (n) Populasi (N) Sampel (n) Populasi (N) Sampel (n)
10 10 220 140 1200 291
15 14 230 144 1300 297
20 19 240 148 1400 302
25 24 250 152 1500 306
30 28 260 155 1600 310
35 32 270 159 1700 313
40 36 280 162 1800 317
45 40 290 165 1900 320
50 44 300 169 2000 322
55 48 320 175 2200 327
60 52 340 181 2400 331
65 56 360 186 2600 335
70 59 380 191 2800 338
75 63 400 196 3000 341
80 66 420 201 3500 346
85 70 440 205 4000 351
90 73 460 210 4500 354
95 76 480 214 5000 357
100 80 500 217 6000 361
110 86 550 226 7000 364
120 92 600 234 8000 367
130 97 650 242 9000 368
140 103 700 248 10000 370
150 108 750 254 15000 375
160 113 800 260 20000 377
170 118 850 265 30000 379
180 123 900 269 40000 380
190 127 950 274 50000 381
200 132 1000 278 75000 382
210 136 1100 285 1000000 384


Sebagai informasi lainnya, Champion (1981) mengatakan bahwa sebagian besar uji statistik selalu menyertakan rekomendasi ukuran sampel. Dengan kata lain, uji-uji statistik yang ada akan sangat efektif jika diterapkan pada sampel yang jumlahnya 30 s/d 60 atau dari 120 s/d 250. Bahkan jika sampelnya di atas 500, tidak direkomendasikan untuk menerapkan uji statistik. (Penjelasan tentang ini dapat dibaca di Bab 7 dan 8 buku Basic Statistics for Social Research, Second Edition)

Teknik-teknik pengambilan sampel
Secara umum, ada dua jenis teknik pengambilan sampel yaitu, sampel acak atau random sampling / probability sampling, dan sampel tidak acak atau nonrandom samping/nonprobability sampling. Yang dimaksud dengan random sampling adalah cara pengambilan sampel yang memberikan kesempatan yang sama untuk diambil kepada setiap elemen populasi. Artinya jika elemen populasinya ada 100 dan yang akan dijadikan sampel adalah 25, maka setiap elemen tersebut mempunyai kemungkinan 25/100 untuk bisa dipilih menjadi sampel. Sedangkan yang dimaksud dengan nonrandom sampling atau nonprobability sampling, setiap elemen populasi tidak mempunyai kemungkinan yang sama untuk dijadikan sampel. Lima elemen populasi dipilih sebagai sampel karena letaknya dekat dengan rumah peneliti, sedangkan yang lainnya, karena jauh, tidak dipilih; artinya kemungkinannya 0 (nol).
Dua jenis teknik pengambilan sampel di atas mempunyai tujuan yang berbeda. Jika peneliti ingin hasil penelitiannya bisa dijadikan ukuran untuk mengestimasikan populasi, atau istilahnya adalah melakukan generalisasi maka seharusnya sampel representatif dan diambil secara acak. Namun jika peneliti tidak mempunyai kemauan melakukan generalisasi hasil penelitian maka sampel bisa diambil secara tidak acak. Sampel tidak acak biasanya juga diambil jika peneliti tidak mempunyai data pasti tentang ukuran populasi dan informasi lengkap tentang setiap elemen populasi. Contohnya, jika yang diteliti populasinya adalah konsumen teh botol, kemungkinan besar peneliti tidak mengetahui dengan pasti berapa jumlah konsumennya, dan juga karakteristik konsumen. Karena dia tidak mengetahui ukuran pupulasi yang tepat, bisakah dia mengatakan bahwa 200 konsumen sebagai sampel dikatakan “representatif”?. Kemudian, bisakah peneliti memilih sampel secara acak, jika tidak ada informasi yang cukup lengkap tentang diri konsumen?. Dalam situasi yang demikian, pengambilan sampel dengan cara acak tidak dimungkinkan, maka tidak ada pilihan lain kecuali sampel diambil dengan cara tidak acak atau nonprobability sampling, namun dengan konsekuensi hasil penelitiannya tersebut tidak bisa digeneralisasikan. Jika ternyata dari 200 konsumen teh botol tadi merasa kurang puas, maka peneliti tidak bisa mengatakan bahwa sebagian besar konsumen teh botol merasa kurang puas terhadap the botol.
Di setiap jenis teknik pemilihan tersebut, terdapat beberapa teknik yang lebih spesifik lagi. Pada sampel acak (random sampling) dikenal dengan istilah simple random sampling, stratified random sampling, cluster sampling, systematic sampling, dan area sampling. Pada nonprobability sampling dikenal beberapa teknik, antara lain adalah convenience sampling, purposive sampling, quota sampling, snowball sampling

Probability/Random Sampling.
Syarat pertama yang harus dilakukan untuk mengambil sampel secara acak adalah memperoleh atau membuat kerangka sampel atau dikenal dengan nama “sampling frame”. Yang dimaksud dengan kerangka sampling adalah daftar yang berisikan setiap elemen populasi yang bisa diambil sebagai sampel. Elemen populasi bisa berupa data tentang orang/binatang, tentang kejadian, tentang tempat, atau juga tentang benda. Jika populasi penelitian adalah mahasiswa perguruan tinggi “A”, maka peneliti harus bisa memiliki daftar semua mahasiswa yang terdaftar di perguruan tinggi “A “ tersebut selengkap mungkin. Nama, NRP, jenis kelamin, alamat, usia, dan informasi lain yang berguna bagi penelitiannya.. Dari daftar ini, peneliti akan bisa secara pasti mengetahui jumlah populasinya (N). Jika populasinya adalah rumah tangga dalam sebuah kota, maka peneliti harus mempunyai daftar seluruh rumah tangga kota tersebut. Jika populasinya adalah wilayah Jawa Barat, maka penelti harus mepunyai peta wilayah Jawa Barat secara lengkap. Kabupaten, Kecamatan, Desa, Kampung. Lalu setiap tempat tersebut diberi kode (angka atau simbol) yang berbeda satu sama lainnya.
Di samping sampling frame, peneliti juga harus mempunyai alat yang bisa dijadikan penentu sampel. Dari sekian elemen populasi, elemen mana saja yang bisa dipilih menjadi sampel?. Alat yang umumnya digunakan adalah Tabel Angka Random, kalkulator, atau undian. Pemilihan sampel secara acak bisa dilakukan melalui sistem undian jika elemen populasinya tidak begitu banyak. Tetapi jika sudah ratusan, cara undian bisa mengganggu konsep “acak” atau “random” itu sendiri.

1. Simple Random Sampling atau Sampel Acak Sederhana
Cara atau teknik ini dapat dilakukan jika analisis penelitiannya cenderung deskriptif dan bersifat umum. Perbedaan karakter yang mungkin ada pada setiap unsur atau elemen populasi tidak merupakan hal yang penting bagi rencana analisisnya. Misalnya, dalam populasi ada wanita dan pria, atau ada yang kaya dan yang miskin, ada manajer dan bukan manajer, dan perbedaan-perbedaan lainnya. Selama perbedaan gender, status kemakmuran, dan kedudukan dalam organisasi, serta perbedaan-perbedaan lain tersebut bukan merupakan sesuatu hal yang penting dan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap hasil penelitian, maka peneliti dapat mengambil sampel secara acak sederhana. Dengan demikian setiap unsur populasi harus mempunyai kesempatan sama untuk bisa dipilih menjadi sampel. Prosedurnya :
1. Susun “sampling frame”
2. Tetapkan jumlah sampel yang akan diambil
3. Tentukan alat pemilihan sampel
4. Pilih sampel sampai dengan jumlah terpenuhi

2. Stratified Random Sampling atau Sampel Acak Distratifikasikan
Karena unsur populasi berkarakteristik heterogen, dan heterogenitas tersebut mempunyai arti yang signifikan pada pencapaian tujuan penelitian, maka peneliti dapat mengambil sampel dengan cara ini. Misalnya, seorang peneliti ingin mengetahui sikap manajer terhadap satu kebijakan perusahaan. Dia menduga bahwa manajer tingkat atas cenderung positif sikapnya terhadap kebijakan perusahaan tadi. Agar dapat menguji dugaannya tersebut maka sampelnya harus terdiri atas paling tidak para manajer tingkat atas, menengah, dan bawah. Dengan teknik pemilihan sampel secara random distratifikasikan, maka dia akan memperoleh manajer di ketiga tingkatan tersebut, yaitu stratum manajer atas, manajer menengah dan manajer bawah. Dari setiap stratum tersebut dipilih sampel secara acak. Prosedurnya :
1. Siapkan “sampling frame”
2. Bagi sampling frame tersebut berdasarkan strata yang dikehendaki
3. Tentukan jumlah sampel dalam setiap stratum
4. Pilih sampel dari setiap stratum secara acak.
Pada saat menentukan jumlah sampel dalam setiap stratum, peneliti dapat menentukan secara (a) proposional, (b) tidak proposional. Yang dimaksud dengan proposional adalah jumlah sampel dalam setiap stratum sebanding dengan jumlah unsur populasi dalam stratum tersebut. Misalnya, untuk stratum manajer tingkat atas (I) terdapat 15 manajer, tingkat menengah ada 45 manajer (II), dan manajer tingkat bawah (III) ada 100 manajer. Artinya jumlah seluruh manajer adalah 160. Kalau jumlah sampel yang akan diambil seluruhnya 100 manajer, maka untuk stratum I diambil (15:160)x100 = 9 manajer, stratum II = 28 manajer, dan stratum 3 = 63 manajer.
Jumlah dalam setiap stratum tidak proposional. Hal ini terjadi jika jumlah unsur atau elemen di salah satu atau beberapa stratum sangat sedikit. Misalnya saja, kalau dalam stratum manajer kelas atas (I) hanya ada 4 manajer, maka peneliti bisa mengambil semua manajer dalam stratum tersebut , dan untuk manajer tingkat menengah (II) ditambah 5, sedangkan manajer tingat bawah (III), tetap 63 orang.

3. Cluster Sampling atau Sampel Gugus
Teknik ini biasa juga diterjemahkan dengan cara pengambilan sampel berdasarkan gugus. Berbeda dengan teknik pengambilan sampel acak yang distratifikasikan, di mana setiap unsur dalam satu stratum memiliki karakteristik yang homogen (stratum A : laki-laki semua, stratum B : perempuan semua), maka dalam sampel gugus, setiap gugus boleh mengandung unsur yang karakteristiknya berbeda-beda atau heterogen. Misalnya, dalam satu organisasi terdapat 100 departemen. Dalam setiap departemen terdapat banyak pegawai dengan karakteristik berbeda pula. Beda jenis kelaminnya, beda tingkat pendidikannya, beda tingkat pendapatnya, beda tingat manajerialnnya, dan perbedaan-perbedaan lainnya. Jika peneliti bermaksud mengetahui tingkat penerimaan para pegawai terhadap suatu strategi yang segera diterapkan perusahaan, maka peneliti dapat menggunakan cluster sampling untuk mencegah terpilihnya sampel hanya dari satu atau dua departemen saja. Prosedur :
1. Susun sampling frame berdasarkan gugus – Dalam kasus di atas, elemennya ada 100 departemen.
2. Tentukan berapa gugus yang akan diambil sebagai sampel
3. Pilih gugus sebagai sampel dengan cara acak
4. Teliti setiap pegawai yang ada dalam gugus sample


4. Systematic Sampling atau Sampel Sistematis
Jika peneliti dihadapkan pada ukuran populasi yang banyak dan tidak memiliki alat pengambil data secara random, cara pengambilan sampel sistematis dapat digunakan. Cara ini menuntut kepada peneliti untuk memilih unsur populasi secara sistematis, yaitu unsur populasi yang bisa dijadikan sampel adalah yang “keberapa”. Misalnya, setiap unsur populasi yang keenam, yang bisa dijadikan sampel. Soal “keberapa”-nya satu unsur populasi bisa dijadikan sampel tergantung pada ukuran populasi dan ukuran sampel. Misalnya, dalam satu populasi terdapat 5000 rumah. Sampel yang akan diambil adalah 250 rumah dengan demikian interval di antara sampel kesatu, kedua, dan seterusnya adalah 25. Prosedurnya :
5. Susun sampling frame
6. Tetapkan jumlah sampel yang ingin diambil
7. Tentukan K (kelas interval)
8. Tentukan angka atau nomor awal di antara kelas interval tersebut secara acak atau random – biasanya melalui cara undian saja.
9. Mulailah mengambil sampel dimulai dari angka atau nomor awal yang terpilih.
10. Pilihlah sebagai sampel angka atau nomor interval berikutnya

4. Area Sampling atau Sampel Wilayah
Teknik ini dipakai ketika peneliti dihadapkan pada situasi bahwa populasi penelitiannya tersebar di berbagai wilayah. Misalnya, seorang marketing manajer sebuah stasiun TV ingin mengetahui tingkat penerimaan masyarakat Jawa Barat atas sebuah mata tayangan, teknik pengambilan sampel dengan area sampling sangat tepat. Prosedurnya :
1. Susun sampling frame yang menggambarkan peta wilayah (Jawa Barat) – Kabupaten, Kotamadya, Kecamatan, Desa.
2. Tentukan wilayah yang akan dijadikan sampel (Kabupaten ?, Kotamadya?, Kecamatan?, Desa?)
3. Tentukan berapa wilayah yang akan dijadikan sampel penelitiannya.
4. Pilih beberapa wilayah untuk dijadikan sampel dengan cara acak atau random.
5. Kalau ternyata masih terlampau banyak responden yang harus diambil datanya, bagi lagi wilayah yang terpilih ke dalam sub wilayah.

Nonprobability/Nonrandom Sampling atau Sampel Tidak Acak
Seperti telah diuraikan sebelumnya, jenis sampel ini tidak dipilih secara acak. Tidak semua unsur atau elemen populasi mempunyai kesempatan sama untuk bisa dipilih menjadi sampel. Unsur populasi yang terpilih menjadi sampel bisa disebabkan karena kebetulan atau karena faktor lain yang sebelumnya sudah direncanakan oleh peneliti.
1. Convenience Sampling atau sampel yang dipilih dengan pertimbangan kemudahan.
Dalam memilih sampel, peneliti tidak mempunyai pertimbangan lain kecuali berdasarkan kemudahan saja. Seseorang diambil sebagai sampel karena kebetulan orang tadi ada di situ atau kebetulan dia mengenal orang tersebut. Oleh karena itu ada beberapa penulis menggunakan istilah accidental sampling – tidak disengaja – atau juga captive sample (man-on-the-street) Jenis sampel ini sangat baik jika dimanfaatkan untuk penelitian penjajagan, yang kemudian diikuti oleh penelitian lanjutan yang sampelnya diambil secara acak (random). Beberapa kasus penelitian yang menggunakan jenis sampel ini, hasilnya ternyata kurang obyektif.

2. Purposive Sampling
Sesuai dengan namanya, sampel diambil dengan maksud atau tujuan tertentu. Seseorang atau sesuatu diambil sebagai sampel karena peneliti menganggap bahwa seseorang atau sesuatu tersebut memiliki informasi yang diperlukan bagi penelitiannya. Dua jenis sampel ini dikenal dengan nama judgement dan quota sampling.
Judgment Sampling
Sampel dipilih berdasarkan penilaian peneliti bahwa dia adalah pihak yang paling baik untuk dijadikan sampel penelitiannya.. Misalnya untuk memperoleh data tentang bagaimana satu proses produksi direncanakan oleh suatu perusahaan, maka manajer produksi merupakan orang yang terbaik untuk bisa memberikan informasi. Jadi, judment sampling umumnya memilih sesuatu atau seseorang menjadi sampel karena mereka mempunyai “information rich”.
Dalam program pengembangan produk (product development), biasanya yang dijadikan sampel adalah karyawannya sendiri, dengan pertimbangan bahwa kalau karyawan sendiri tidak puas terhadap produk baru yang akan dipasarkan, maka jangan terlalu berharap pasar akan menerima produk itu dengan baik. (Cooper dan Emory, 1992).
Quota Sampling
Teknik sampel ini adalah bentuk dari sampel distratifikasikan secara proposional, namun tidak dipilih secara acak melainkan secara kebetulan saja.
Misalnya, di sebuah kantor terdapat pegawai laki-laki 60% dan perempuan 40% . Jika seorang peneliti ingin mewawancari 30 orang pegawai dari kedua jenis kelamin tadi maka dia harus mengambil sampel pegawai laki-laki sebanyak 18 orang sedangkan pegawai perempuan 12 orang. Sekali lagi, teknik pengambilan ketiga puluh sampel tadi tidak dilakukan secara acak, melainkan secara kebetulan saja.

3. Snowball Sampling – Sampel Bola Salju
Cara ini banyak dipakai ketika peneliti tidak banyak tahu tentang populasi penelitiannya. Dia hanya tahu satu atau dua orang yang berdasarkan penilaiannya bisa dijadikan sampel. Karena peneliti menginginkan lebih banyak lagi, lalu dia minta kepada sampel pertama untuk menunjukan orang lain yang kira-kira bisa dijadikan sampel. Misalnya, seorang peneliti ingin mengetahui pandangan kaum lesbian terhadap lembaga perkawinan. Peneliti cukup mencari satu orang wanita lesbian dan kemudian melakukan wawancara. Setelah selesai, peneliti tadi minta kepada wanita lesbian tersebut untuk bisa mewawancarai teman lesbian lainnya. Setelah jumlah wanita lesbian yang berhasil diwawancarainya dirasa cukup, peneliti bisa mengentikan pencarian wanita lesbian lainnya. . Hal ini bisa juga dilakukan pada pencandu narkotik, para gay, atau kelompok-kelompok sosial lain yang eksklusif (tertutup)
Pedoman dalam pemilihan teknik sampling






.





Dalam penelitian Kualitatif, tentunya kita tidak asing lagi dengan teknik sampling bola salju (snowball sampling). Teknik ini merupakan teknik penentuan sample penelitian dengan mengikuti informasi-informasi dari sample sebelumnya. Misal dari Pak A mengatakan pak B yang tahu atau layak menjadi sample, selanjutnya pak B menunjuk lagi ke Pak C bahwa dia yang lebih layak, demikian seterusnya sampai ketemu dengan sample yang diinginkan atau yang memenuhi syarat.
Purposive Sampling
Purposive sampling adalah teknik penentuan sampel untuk tujuan tertentu saja. Misalnya pada penelitian tentang disiplin pegawai, maka sampel yang dipilih adalah orang yang ahli dalam bidang kepegawaian saja.

Jumat, 18 Februari 2011

Ujian nasional bagi sekolah dasar atau MI masihkah relevan dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan pendidikan? Setiap satuan pendidikan dalam hal ini mempunyai Kurikulum sendiri yang disebut Kurikulum SD Negeri 004 umpanya. Apakah dengan UN itu akan menunjukkan bahwa SD telah melaksanakan kurikulum yang telah disusun oleh sekolah itu, yang telah mengeluarkan biaya yang tidak banyak. Dari segi program ternyata UN boleh dilaksanakan tapi bukan untuk ukuran penentuan kelulusan dari lembaga pendidikan formal seperti SD. Walaupun dalam pedoman /kreiteria kelulusan telah ditetapkan bahwa nilai UN hanya 60 %, tapi secara nyata hal ini masih mengecilkan nilai-nilai sekolah yang hanya 40%, betulkah sudah sesuai dengan prinsip efektifitas dan efisiensi program sekolah ?
Untuk di SD/MI semestinya kriteria kelulusan diperoleh dengan prinsip 60% dari nilai sekolah dan 40% dari nilai UN, karena prinsip-prinsip penilaian yang dilaksanakan pada SD/MI,dimana setiap siswa akan mempelajari KD baru apabila telah menyelesaikan dan tuntas untuk setiap KD berdasarkan KKM yang telah ditentukan dengan mempertimbankan semua aspek yang terlibat di sekolah tersebut dan bukan nilai UN. Kelulusan siswa SD/MI masih sangat rentan terhadap penyelewengan dan pelanggaran dan bahkan terjadi tindakan-tindakan yang tidak terpuji dari sekolah.Disamping itu jika ada anak yang tidak lulus dari SD maka sangat bertentangan dengan semboyan wajib belajar 9 tahun. Yang jelas UN belum pantas dijadikan untuk penentuan kelulusan di SD.

Senin, 14 Februari 2011

soal uas SD IPS

UAS-IPS-SD/MI
PILIHAN GANDA
1. Laut dalam peta dilambangkan dengan warna ...
a. biru
b. coklat
c. hijauh
d. kuning

2. Lautan yang masuk ke dalam daratan disebut ....
a. danau
b. pulau
c. teluk
d. tanjung.

3. Jenis kegiatan dibidang perdagangan, jasa,industri, dan pemerintahan banyak ditemukan di ....
a. perkotaan
b. pegunungan
c. pantai
d. pedesaan

4. Ibu kota Kalimantan Timur adalah ....
a. Sangatta
b. Samarinda
c. Tenggarong
d. Balikpapan

5. Bahan tambang yang dapat digunakan sebagai perhiasan adalah ....
a. aluminium
b. nikel
c. perak
d. tembaga
- 1 –
UAS-IPS-SD/MI
6. Gambar di bawah ini yang termasuk teknologi produksi tradisional adalah ....

a. c.




b. d.


7. Masyarakat masa lalu sudah dapat berkomunikasi menggunakan surat karena ....
a. sudah terdapat banyak kertas
b. kantor pos terdapat diberbagai tempat
c. mudah mendapatkan perangko
d. sudah bisa menulis dan membaca.

8. Alat transportasi air yang digunakan pada zaman dahulu adalah ....
a. kapal tanker
b. kapal selam
c. kapal feri
d. kapal layar

9. Salah satu cara menjaga kelestarian hutan adalah ....
a. perladangan berpindah-pindah
b. melakukan penghijauan atau reboisasi
c. menebang pohon untuk keperluan rumah tanggah
d. membakar hutan untuk kegiatan berladang.


- 2 –
UAS-IPS-SD/MI
10. Pasar yang pembelinya dapat mengambil sendiri barang yang dibutuhkan kemudian di bawa ke kasir disebut ....
a. pasar modern
b. pasar tradisional
c. pasar loak
d. pasar induk.
11. Suku asli yang berasal dari Kalimantan adalah ....
a. Bugis
b. Dayak
c. Tengger
d. Toraja
12. Rumah adat dari Kalimantan Timur adalah ....


a. c.




b. d.



13. Gambar disamping adalah jenis pekerjaan dalam bidang ....
a. Jasa
b. produksi
c. industry
d. perdagangan.
- 3 –
UAS-IPS-SD/MI
14. Koperasi yang menjalankan usaha penyediaan berbagai barang untuk
memenuhi kebutuhan sehari – hari disebut koperasi ....
a. Simpan pinjam
b. Produksi
c. Jasa
d. Konsumsi

15. Raja Jayabaya yang terkenal dengan ramalan Jangka Jayabaya adalah raja dari kerajaan ...
a. Kutai
b. Tarumanegara
c. Kediri
d. Singori
16. Yang termasuk candi peninggalan bercorak Budha di bawah ini adalah ....
a. Candi Muara Takus
b. Candi Penataran
c. Candi Kidal
d. Candi Prambanan

17. Salah satu dari Wali Songo yang berperan besar dalam penyebaran agama Islam di Demak adalah ....
a. Sunan Gresik
b. Sunan Ampel
c. Sunan Bonang
d. Sunan Giri

18. Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW sebagai salah satu tradisi peninggalan bercorak Islam di Yogyakarta disebut ....
a. Grebek Besar
b. Sekaten
c. Dhugder
d. Sedekah
- 4 –
UAS-IPS-SD/MI
19. Tujuan dilaksanakannya Tanam Paksa oleh penjajahan Belanda di Indonesia adalah ..
a. mengisi kas Belanda yang kosong
b. meningkatkan produksi pertanian rakyat
c. menambah pendapatan masyarakat
d. menanam tanam yang laku dipasaran Eropa.

20. Perlawanan rakyat Bali terhadap Belanda yang dikenal dengan Perang Puputan dipimpin oleh ....
a. Tuanku Imam Bonjol
b. Thomas Matulessi
c. Gusti Ketut Jelantik
d. I Gusti Ngura Rai

21. Perhatikan gambar!, Gambar di samping adalah tokoh pergerakan nasional yang mendirikan ....
a. Budi Utomo
b. Taman Siswa
c. Indische Partij
d. Partai Nasional Indonesia

22. Darman naik pesawat dari Bandar Udara Juanda Surabaya akan menuju ke Bandar Udara Hasanuddin Makassar dengan lama penerbangan 1 jam 30 menit. Jika Darman naik pesawat tepat pukul 08.00 pagi, maka Darman akan tiba Makassar tepat pukul ....
a. 08.30 WITA
b. 09.30 WITA
c. 10.30 WITA
d. 11.30 WITA



- 5 –
UAS-IPS-SD/MI
23. Jika angin muson barat bertiup di wilayah nusantara, maka di Indonesia mengalami musim ....
a. kemarau
b. hujan
c. semi
d. gugur

24. Salah satu jenis flora yang terdapat di Taman Kersik Luway Kutai Barat yang dapat dijadikan tanaman hias adalah ....
a. bunga mawar
b. angrek hitam
c. pakis monyet
d. bonsai
25. Tujuan pemuda membawa Ir.Soekarno dan Drs.Moh. Hatta ke Rengasdengklok adalah ....
a. agar Ir Soekarno dan Drs.Moh.Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia
b. agar Ir Sokearno dan Drs.Moh.Hatta tidak dipengaruhi oleh Jepang
c. untuk membuktikan semangat kepahlawanan para golongan muda
d. untuk mendesak pelaksanaan siding PPKI yang pertama.

26. Perhatikan gambar, gambar disamping adalah pimpinan pertempuran mempertahankan Kemerdekaan Indonesia yang terjadi di ...
a. Surabaya
b. Medan
c. Bandung
d. Ambarawa




- 6 –
UAS-IPS-SD/MI
27. Nama – nama propinsi pada tabel di bawah ini merupakan propinsi yang ada pada awal kemerdekaan Indonesia ditunjukkan oleh nomor ….
No Nama propinsi
1 Sunda Kecil
2 Gorontalo
3 Kalimantan
4 Maluku
5 Bengkulu







a. 1,2,dan3
b. 2,4,dan 5
c. 1,3,dan 4
d. 2,3,dan 5

28. Berdasarkan Deklarasi Djuanda ditetapkan wilayah laut teritorial Indonesia adalah … mil diukur dari garis dasar pantai pulau terluar.
a. 3
b. 12
c. 24
d. 200

29. Secara geografis Indonesia terletak antara dua benua yaitu ….
a. Benua Asia dan Australia
b. Benua Asia dan Afrika
c. Benua Australia dan Amerika
d. Benua Eropa dan Afrika
30. Salah seorang Menteri Luar Negeri dari Singapura yang ikut menandatangani Deklarasi Bangkok adalah ….
a. Tun Abdul Razak
b. Narsisco Ramos
c. Thanat Khoman
d. S. Rajaratnam
UAS-IPS-SD/MI
31. Salah satu bentuk kerjasama Asean di bidang sosial adalah ….
a. pencegahan narkoba dan penanggulangannya
b. pertukaran pelajar dan mahasiswa
c. mendirikan proyek industri bersama
d. mengadakan pesta olahraga ( Sea Games )

32. Sungai Chao Phraya merupakan sungai terkenal yang berada di negara ….
a. Filipina
b. Indonesia
c. Thailand
d. Vietnam

33. Bahasa resmi penduduk Kamboja adalah bahasa ….
a. Inggris
b. Khmer
c. Mandarin
d. Melayu

34. Pada umumnya negara – negara yang berada di Asia Tenggara terletak pada pertemuan lempeng bumi sehingga sering dilanda gempa. Gempa yang disebabkan pergeseran lempeng bumi disebut ….
a. gempa vulkanik
b. gempa tektonik
c. gempa runtuhan
d. gempa mekanik
35. Hal-hal berikut ini yang sebaiknya dilakukan untuk mencegah terjadinya bencana tanah longsor adalah ….
a. melakukan gerakan penghijauan
b. mendirikan bangunan di daerah lereng
c. membuka lahan pertanian di daerah lereng
d. melakukan penambangan berlebihan di daerah lereng
- 8 –
UAS-IPS-SD/MI
36. Pegunungan tertinggi di dunia adalah pegunungan ….
a. Jaya Wijaya
b. Himalaya
c. Karakorum
d. Alpen

37. Karena Inggris pernah memiliki negara jajahan hampir di setiap benua , maka Inggris dijuluki negeri ….
a. Albion
b. Jiran
c. Matahari Terbit
d. Matahari tak Pernah Tenggelam

38. Negara – negara berikut yang berada di Benua Eropa adalah ….
a. Afganistan , Inggris , dan Belanda
b. Perancis, Inggris, dan Iran
c. Belanda, Perancis, dan Inggris
d. Mesir, RRC, dan Korea Selatan

39. Mata uang negara Aljazair adalah ….
a. Dolar
b. Dinar
c. Real
d. Poundsterling

40. Hasil utama yang terkenal dari negara Afrika Selatan adalah ….
a. emas
b. timah
c. minyak bumi
d. wol

- 9 –
UAS-IPS-SD/MI
41. Penduduk asli dari benua Amerika adalah suku ….
a. Aborigin
b. Negro
c. Melayu
d. Indian dan Eskimo

42. Negara yang ditunjukkan oleh huruf M beribukota di ….

a. Buenos Aires
b. Brasilia
c. Lima
d. Santiago



43. Benua Asia di sebelah utara berbatasan dengan ….
a. Samudera Arktik
b. Samudera Atlantik
c. Samudera Hindia
d. Samudera Pasifik

44. Perkembangan teknologi berikut ini yang tidak turut mempercepat arus globalisasi adalah ….
a. teknologi informasi
b. teknologi komunikasi
c. teknologi farmasi
d. teknologi transportasi



- 10 –

UAS-IPS-SD/MI
45. Para pelajar sekarang lebih suka menonton televisi di bandingkan membaca. Menurunnya kegemaran membaca di kalangan pelajar merupakan dampak negatif globalisasi di bidang ….
a. Ekonomi
b. Politik
c. Hukum
d. Budaya

46. Salah satu alasan perusahaan asing menanamkan modalnya di Indonesia adalah....
a. rendahnya daya beli masyarakat Indonesia
b. kualitas sumber daya manusia Indonesia sudah baik
c. tingginya upah kerja
d. konsumen yang besar

47. Dengan adanya perusahaan asing di Indonesia banyak tenaga kerja yang tertampung sehingga mengurangi jumlah pengangguran.Pernyataan tersebut merupakan salah satu keuntungan berdirinya perusahaan asing di Indonesia khususnya yang berhubungan dengan usaha ....
a. memenuhi kebutuhan dalam negeri
b. membuka lapangan kerja
c. menambah modal usaha
d. mengurangi kepadatan penduduk

48. Pak Dodi adalah seorang pengrajin sarung Samarinda. Pak Dodi menjual hasil kerajinannya kepada seorang pembeli yang ada di Brunei Darussalam. Artinya pak Dodi melakukan kegiatan ….
a. Barter
b. Impor
c. Ekspor
d. Eksportir

- 11 –
UAS-IPS-SD/MI

49. Indonesia mengimpor kendaraan bermotor dari Jepang . Manfaat yang diperoleh Indonesia sebagai negara pengimpor adalah ….
a. mendapat potongan harga
b. menambah devisa negara
c. menyerap tenaga kerja
d. terpenuhi kebutuhan dalam negeri

50. Salah satu contoh wujud rasa cinta terhadap produksi Indonesia adalah ....
a. bangga dan suka menggunakan barang buatan Indonesia
b. gengsi memakai barang buatan Indonesia
c. mengoleksi barang – barang impor
d. selalu membeli barang dari luar negeri

UJIAN NASIONAL SD/MI

SALINAN
PERATURAN
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 2 TAHUN 2011
TENTANG
UJIAN SEKOLAH/MADRASAH DAN UJIAN NASIONAL PADA SEKOLAH DASAR/
MADRASAH IBTIDAIYAH DAN SEKOLAH DASAR LUAR BIASA
TAHUN PELAJARAN 2010/2011
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 65 ayat (6) dan Pasal 67
ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan, perlu menetapkan Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional tentang Ujian Sekolah/Madrasah dan Ujian
Nasional pada Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah dan Sekolah
Dasar Luar Biasa Tahun Pelajaran 2010/2011;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4301);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4496);
3. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan
dan Organisasi Kementerian Negara;
4. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan,
Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan
Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 67
Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor
24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi
Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan
Fungsi Eselon I Kementerian Negara;
2
5. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009 mengenai
Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II;
6. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006
tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah;
7. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006
tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan
Dasar dan Menengah;
8. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 6 Tahun 2007
tentang Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar
Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah;
9. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2007
tentang Standar Penilaian Pendidikan untuk Satuan Pendidikan
Dasar dan Menengah;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL TENTANG
UJIAN SEKOLAH/MADRASAH DAN UJIAN NASIONAL PADA
SEKOLAH DASAR/ MADRASAH IBTIDAIYAH DAN SEKOLAH
DASAR LUAR BIASA TAHUN PELAJARAN 2010/2011.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:
1. Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang
menyelenggaraan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada
setiap jenjang dan jenis pendidikan.
2. Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan
tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan
kemampuan yang dikembangkan.
3. Ujian Sekolah/Madrasah selanjutnya disebut US/M adalah kegiatan pengukuran
dan penilaian kompetensi peserta didik yang dilakukan oleh sekolah/madrasah
untuk semua mata pelajaran pada kelompok ilmu pengetahuan dan teknologi.
4. Ujian Nasional yang selanjutnya disebut UN adalah kegiatan pengukuran dan
penilaian kompetensi peserta didik secara nasional pada jenjang pendidikan
dasar dan menengah.
3
5. Ujian Nasional yang selanjutnya disebut UN adalah kegiatan pengukuran dan
penilaian kompetensi peserta didik secara nasional pada jenjang pendidikan
dasar dan menengah.
6. UN Susulan adalah ujian nasional yang diselenggarakan bagi peserta didik
yang tidak dapat mengikuti UN Utama karena alasan tertentu dan disertai bukti
yang sah.
7. Kriteria kelulusan adalah persyaratan pencapaian minimal untuk dinyatakan lulus.
8. BSNP adalah Badan Standar Nasional Pendidikan yang dibentuk berdasarkan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan.
9. Kurikulum 1994 adalah kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang sudah
berlaku secara nasional sejak tahun pelajaran 1994/1995 berdasarkan
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 060/U/1993, Nomor
061/U/1993 Tahun 1993, Nomor 080/U/1993, Nomor 126/U/1993, dan Nomor
129/U/1993.
10. Kurikulum 2004 adalah kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang sudah
diterapkan secara terbatas mulai tahun pelajaran 2001/2002 berdasarkan
Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor
399a/C.C2/Kep/DS/2004, Keputusan Direktur Pendidikan Menengah Umum
Nomor 766a/C4/MN/2003, dan Nomor 1247a/C4/MN/2003.
11. Standar Isi adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang
dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan
kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus
dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
12. Standar Kompetensi Lulusan UN yang selanjutnya disebut SKLUN adalah
Standar kompetensi minimal yang harus dikuasi oleh peserta didik.
13. Kisi-kisi soal UN adalah acuan dalam pengembangan dan perakitan soal ujian
yang disusun berdasarkan SKLUN.
14. Lembar jawaban UN yang selanjutnya disebut LJUN adalah lembaran kertas
yang digunakan oleh peserta didik untuk menjawab soal UN.
15. Surat Keterangan Hasil Ujian Nasional yang selanjutnya disebut SKHUN
adalah surat keterangan yang berisi nilai UN.
16. Prosedur operasi standar yang selanjutnya disebut POS adalah urutan langkah
baku yang mengatur teknis pelaksanaan ujian nasional dan ujian
sekolah/madrasah.
17. Pemerintah daerah adalah pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
18. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.
19. Kementerian adalah Kementerian Pendidikan Nasional.
20. Menteri adalah Menteri Pendidikan Nasional.
4
BAB II
HAK DAN PERSYARATAN PESERTA UJIAN
Pasal 2
(1) Setiap peserta didik SD/MI dan SDLB berhak mengikuti US/M.
(2) Setiap peserta didik SD/MI dan SDLB (tunanetra, tunarungu, tunadaksa ringan,
dan tunalaras) berhak mengikuti UN.
(3) Untuk mengikuti US/M dan UN, peserta didik harus memenuhi persyaratan:
a. telah berada pada tahun terakhir di SD/MI dan SDLB;
b. memiliki laporan lengkap penilaian hasil belajar pada SD/MI dan SDLB mulai
semester I tahun pertama hingga semester I tahun terakhir;
(4) Peserta didik yang karena alasan tertentu dan disertai bukti yang sah tidak dapat
mengikuti UN Utama dapat mengikuti UN Susulan.
(5) Peserta didik yang belum lulus Tahun Pelajaran 2008/2009 dan Tahun Pelajaran
2009/2010 dapat mengikuti UN Tahun Pelajaran 2010/2011.
BAB III
PELAKSANAAN UJIAN SEKOLAH/MADRASAH
Pasal 3
SD/MI dan SDLB menyelenggarakan US/M untuk semua mata pelajaran.
Pasal 4
US/M untuk SD/MI dan SDLB dilaksanakan sebelum UN sesuai dengan jadwal yang
ditetapkan oleh sekolah/madrasah.
Pasal 5
(1) Satuan pendidikan menyusun bahan US/M berdasarkan kurikulum yang berlaku
pada satuan pendidikan masing-masing.
(2) US/M dilaksanakan oleh satuan pendidikan masing-masing.
Pasal 6
Hal yang berkaitan dengan teknis pelaksanaan US/M diatur dalam Prosedur Operasi
Standar (POS) yang ditetapkan oleh satuan pendidikan masing-masing.
5
BAB IV
PELAKSANAAN UJIAN NASIONAL
Pasal 7
(1) SKLUN Tahun Pelajaran 2010/2011 merupakan irisan dari pokok
bahasan/subpokok bahasan Kurikulum 1994, Standar Kompetensi dan
Kompetensi Dasar pada Kurikulum 2004, dan Standar Isi.
(2) Kisi-kisi soal UN disusun dan ditetapkan oleh BSNP berdasarkan SKLUN
Tahun Pelajaran 2010/2011 sebagaimana tercantum pada Lampiran Peraturan
Menteri ini.
(3) Penyiapan soal UN menggunakan kisi-kisi sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Setiap paket soal UN terdiri atas 25% (dua puluh lima persen) soal yang
ditetapkan BSNP dan 75% (tujuh puluh lima persen) soal yang ditetapkan oleh
penyelenggara UN tingkat provinsi berdasarkan kisi-kisi soal UN Tahun
Pelajaran 2010/2011 yang ditetapkan BSNP.
(5) Soal UN yang ditetapkan BSNP sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dipilih
dan dirakit dari bank soal sesuai dengan kisi-kisi soal UN Tahun Pelajaran
2010/2011.
Pasal 8
Mata Pelajaran UN meliputi Bahasa Indonesia, Matematika, dan Ilmu Pengetahuan
Alam.
Pasal 9
UN dilaksanakan pada tanggal 10 sampai dengan tanggal 12 Mei 2011.
Pasal 10
(1) Penggandaan soal UN dilakukan di tingkat provinsi oleh perusahaan percetakan
yang ditetapkan oleh penyelenggara UN tingkat provinsi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Penggandaan dan pendistribusian naskah soal UN menjadi tanggung jawab
penyelenggara UN tingkat provinsi.
(3) Perusahaan percetakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
perusahaan percetakan yang memenuhi persyaratan kelayakan berdasarkan
kriteria yang ditetapkan oleh BSNP.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggandaan dan pendistribusian naskah soal
UN diatur dalam POS UN yang ditetapkan oleh BSNP.
6
Pasal 11
UN dilaksanakan oleh BSNP bekerja sama dengan instansi terkait di lingkungan
Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan satuan pendidikan.
Pasal 12
Peserta UN mengikuti ujian di satuan pendidikan penyelenggara UN sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam POS yang ditetapkan BSNP.
Pasal 13
(1) Pengawas ruang UN ditetapkan oleh dinas pendidikan kabupaten/kota dan kantor
kementerian agama kabupaten/kota.
(2) Pengawas ruang UN adalah guru SD/MI/SDLB yang diatur dengan sistem silang.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan UN diatur dalam POS yang
ditetapkan BSNP.
Pasal 14
Perseorangan, kelompok, dan/atau lembaga yang terlibat dalam penyelenggaraan
UN wajib menjaga kerahasiaan, kejujuran, keamanan, dan kelancaran UN.
Pasal 15
Pemindaian LJUN dilakukan oleh penyelenggara UN tingkat kabupaten/kota.
Pasal 16
(1) Penskoran dilakukan oleh penyelenggara UN tingkat provinsi dengan
menggunakan sistem dan standar penilaian yang ditetapkan BSNP.
(2) Daftar nilai hasil UN setiap SD, MI dan SDLB dibuat oleh penyelenggara UN
tingkat provinsi.
(3) Dokumen nilai UN dikelola oleh Pusat Penilaian Pendidikan Badan Penelitian
dan Pengembangan.
Pasal 17
(1) Pengisian nilai SKHUN dilakukan oleh penyelenggara UN tingkat provinsi.
(2) Peserta UN diberi SKHUN yang diterbitkan oleh sekolah/madrasah
penyelenggara.
7
Pasal 18
Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan sosialisasi UN.
Pasal 19
Kementerian Pendidikan Nasional memetakan hasil UN pada tingkat
sekolah/madrasah, kabupaten/kota, provinsi, dan nasional.
BAB IV
KELULUSAN PESERTA DIDIK
Pasal 20
Peserta didik dinyatakan lulus dari satuan pendidikan setelah:
a. menyelesaikan seluruh program pembelajaran;
b. memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran:
1) kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia;
2) kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian;
3) kelompok mata pelajaran estetika, dan
4) kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan;
c. lulus US/M untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; dan
d. lulus UN.
Pasal 21
(1) Peserta didik dinyatakan lulus US/M pada SD, MI, dan SDLB apabila peserta
didik telah memenuhi kriteria kelulusan yang ditetapkan oleh satuan pendidikan
berdasarkan perolehan nilai S/M.
(2) Nilai S/M diperoleh dari rata-rata gabungan nilai US/M dan nilai rata-rata rapor
semester 7, 8, 9, 10, dan 11 dengan pembobotan 60% (enam puluh persen)
untuk nilai US/M dan 40% (empat puluh persen) untuk nilai rata-rata rapor.
Pasal 22
(1) Kelulusan peserta didik dari UN ditentukan berdasarkan NA.
(2) NA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh dari nilai rata-rata
gabungan nilai S/M dari mata pelajaran yang diujinasionalkan dan nilai UN
dengan formula 60% (enam puluh persen) nilai UN dan 40% (empat puluh
persen) nilai S/M.
(3) Kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan ditetapkan oleh setiap satuan
pendidikan melalui rapat dewan guru berdasarkan kelulusan sebagaimana
dimaksud pada Pasal 20.
8
BAB V
PELAPORAN
Pasal 23
(1) Pemerintah provinsi melaporkan hasil UN kepada Menteri dan Menteri Agama
sesuai dengan kewenangannya.
(2) Menteri dan Menteri Agama menerima laporan hasil UN sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling lambat 2 (dua) bulan setelah pengumuman kelulusan.
BAB VI
BIAYA
Pasal 24
(1) Biaya penyelenggaraan UN menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.
(2) Pemerintah dapat membantu biaya penyelenggaraan UN.
Pasal 25
Pemerintah, pemerintah daerah, dan satuan pendidikan dilarang memungut biaya
untuk penyelenggaraan UN dari peserta didik dan/atau orang tua/walinya.
BAB VII
SANKSI
Pasal 26
(1) Perseorangan, kelompok, dan/atau lembaga yang melakukan pelanggaran,
penyimpangan, dan/atau kecurangan dalam penyelenggaraan UN dikenakan
sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Peserta didik yang terbukti melakukan kecurangan dalam mengerjakan soal UN
dinyatakan tidak lulus.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang pelanggaran, penyimpangan, dan/atau
kecurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam POS yang
ditetapkan BSNP.
9
BAB VIII
PENUTUP
Pasal 27
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta

MAKALA PEMBIAYAAN PENDIDIKAN

b. Artikel jurnal bahasa Inggris tentang kebijakan pendidikan
Obama Unveils Projects to Bolster STEM Teaching

President Barack Obama yesterday announced more than $250 million in private investments to help attract and prepare new teachers for science, technology, engineering, and mathematics, collectively known as the “STEM” field, and to help improve instruction in those areas by practicing teachers.
The new commitments roughly double the amount the president first announced in November as part of his “Educate to Innovate” campaign for excellence in STEM education. (“Obama Backing STEM Education,” Dec. 2, 2009.)
The campaign is described by the White House as a partnership that involves efforts not only from the federal government, but also from leading companies, foundations, nonprofit groups, and science and engineering societies to work with young people across the nation to excel in science and math.
The largest single commitment in yesterday’s announcement comes from the Intel Corp. of Santa Clara, Calif., and the Intel Foundation, which are planning a 10-year, $200 million effort to expand on work under way to improve math and science education, including through increased professional-development opportunities for teachers.
Other efforts the president announced include growth of the “UTeach” program, which aims to produce teachers with deep content knowledge in math and science, and an expansion of work by the nonprofit Woodrow Wilson National Fellowship Foundation, based in Princeton, N.J., to revamp teacher-education programs and bring new talent into classrooms to address significant shortages in math and science.
“Our future depends on reaffirming America’s role as the world’s engine of cientific discovery and technology innovation,” President Obama said during an East Room ceremony. “And that leadership tomorrow depends on how we educate our students today, especially in math, science, technology, and engineering.”
At the event, Mr. Obama highlighted some of the U.S. Department of Education’s work during his administration to improve STEM education, but said government alone can’t meet the challenge, and he highlighted a number of public-private partnerships.
One of those partnerships is leading to the expansion of the “UTeach” program, which began at the University of Texas at Austin in 1997. The program has already been replicated at 13 universities in nine states, and plans are now under way to add six more universities. The replication effort--which is being directed by the UTeach Institute at the University of Texas at Austin in conjunction with the National Math and Science Initiative, a Dallas-based nonprofit—is expected to prepare 7,000 undergraduates in STEM subjects to become new math and science teachers by 2018. Support and funding for the new replication work comes from private foundations and the business community as well as state agencies.
Increasing the Pool
The Woodrow Wilson National Fellowship Foundation effort will expand from Indiana to include Michigan and Ohio.
It includes fellowships, funded with support from private philanthropies and state coffers, that provide $30,000 stipends to prospective teachers who agree to spend a year in the revamped teacher-education programs and teach for three years in rural and urban secondary schools that serve students who are predominantly from low-income families.
Arthur Levine, the president of the Woodrow Wilson foundation, said the effort is already making an important impact on the teacher pool in Indiana.
“For example, in Indiana, with 80 teachers, we were able to increase the number certified annually in STEM subjects by 20 percent,” said Mr. Levine, who previously was the president and a professor of education at Teachers College, Columbia University. “In Michigan, we would prepare enough STEM teachers to fill all the vacancies in Detroit, Grand Rapids, and Kalamazoo,” though he added that the program would not necessarily target those particular cities.
Altogether, over the course of the three-year programs, the Woodrow Wilson fellowships will prepare more than 700 math and science teachers at 14 institutions, with a total of nearly $40 million in public and private funding, according to the foundation.
Mr. Levine also emphasized the efforts to overhaul teacher-preparation programs at participating universities.
“We’re basically asking them to throw out their program and start over again in many cases,” he said.
To help expand the work, the W.K. Kellogg Foundation will provide $16.7 million over two years in Michigan, and in Ohio several foundations jointly will provide some $10 million.
The Intel effort will provide training to more than 100,000 U.S. math and science teachers over the next three years, including an intensive, 80-hour professional-development course in math for elementary school teachers.
“With the president shining a light, you get a whole new level of attention and excitement” for STEM education, said Shelly M. Esque, the vice president for corporate affairs at Intel and the president of the Intel Foundation.
‘Summer of Innovation’
President Obama also announced several other public-private partnerships to improve STEM education.
NASA, in partnership with companies, nonprofit groups, and states, will launch a pilot program to enhance STEM learning opportunities for students during the summer. The “Summer of Innovation” program will work with thousands of middle school teachers and students during multiweek programs this summer to engage students in stimulating math and science-based education programs.
Meanwhile, the Public Broadcasting Service and its 356 partner stations, in collaboration with the National Science Teachers Association, will launch a multiyear STEM initiative to expand the PBS teacher community, provide a platform for sharing effective teaching practices, and inspire the next generation of teacher-leaders.
The Obama administration has also sought to use the $4 billion Race to the Top Fund, part of the federal economic-stimulus program, as a mechanism to bolster its STEM agenda. In awarding the competitive grants, the U.S. Department of Education will look in part at whether states are committing to improve STEM education.
Beyond that, the federal government across a variety of agencies provides more than $3 billion annually to improve STEM education at all levels. (“Federal Projects’ Impact on STEM Remains Unclear,” March 27, 2008.)
At the White House event, Mr. Obama praised the educators assembled to receive awards for their excellence in teaching math and science.





Obama Unveils Projects to Bolster STEM Teaching
Alasan pemerintah Amerika Serikat menyelenggarakan STEM Teaching di sekolah karena Amerika Serikat perlu memperbaiki sistim pendidikan secara drastic untuk mengikuti persaingan di seluruh dunia karena sampai saat ini Amerika Serekat hanya menempati urutan kedua dunia dalam daya saing global, hal ini dapat dilihat dengan kurangnya ahli dibidang IPTEK jika dibandingkan dengan Ilmu-ilmu social, politik, public ataupun ekonomi. Langkah-langkah yang dilakukan pemerintah Amerika Serikat dalam STEM Teaching adalah :
1. Adanya kebijakan baru dalam dunia pendidikan di Amerika Serikat untuk melibatkan pihak swasta, pemerintah federal, yayasan dan kelompok-kolompok uasaha lainnya serta masyarakat untuk terlibat dalam usaha membantu meningkatkan pengajaran demi keunggulan dalam Ilmu Pengetahuan dan Matematika. Kemitraan ini dilakukan dengan investasi USD 250 juta. Investasi ini dilakukan sebagai usaha membantu mempersiapkan guru baru yang dapat menguasai Ilmu Pengetahuan, Teknologi, Teknik dan Matematika yang dikenal dengan nama STEM. Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat ini sesuai dengan prinsip pengelolaan pendidikan yang melibatkan semua stakeholder, hal ini sangat baik untuk diterapkan di Indonesia dimana semua pihak atau komponen masyarakat maupun pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sama-sama terlibat dalam inovasi pendidikan yang baru. Hal ini akan mempercepat proses pelaksanaan STEM. Jika ini dilaksanakan di Indonesia maka akan mendukung percepetan peningkatan kualitas pendidikan.
2. Program STEM juga bertujuan untuk menghasilkan guru dengan kemampuan yang mendalam tentang pengetahuan dalam Matematika dan Ilmu Pengetahuan, dengan cara mengubah program pendidikan guru yang dapat membawa inovasi baru dalam pembelajaran untuk mengatasi antara kurang signifikannya antara pengetahuan matematika, sains dan dunia ekonomi.
3. Adanya beasiswa bagi calon guru dengan sistim kontrak dimana setiap calon guru harus menempuh pendidikan guru matematika dan Sains kurang dari satu tahun wajib mengajar selama tiga tahun di pedesaan dan perkotaan di sekolah menengah yang siswanya berasal dari keluarga berpenghasilan rendah. Program dengan beasiswa dan system kontrak sangat besar pengaruhnya bagi keberhasilan pendidikan karena yang akan menjadi guru adalah yang mereka memeliki jiwa-jiwa pendidik bukan sebagai profesi pelarian atau merupakan langkah terakhir apabila sudah tidak diterimah di jurusan lain. Sistem kontrak juga akan mendorong semangat kerja, karena ada usaha untuk tetap memperbaiki diri dan berinovasi dibandingkan dengan system penerimaan guru di Indonesia khususnya yang berstatus PNS yang apabilah sudah diterima sebagai guru PNS maka akan tetap menjadi guru sampai memasuki usia pension, hal ini merupakan salah satu factor penghambat bagi guru di Indonesia untuk melakukan inovasi dan disiplin kerja.
4. Program pelatihan untuk membantu memperluas bekerja, oleh sebab itu sebuah lembaga atau yayasan yang bernama W.K. Kellogg Foundation akan menyediakan $ 16.7 juta selama dua tahun di Michigan, dan di Ohio beberapa yayasan bersama-sama akan memberikan sekitar $ 10 juta.
Intel usaha akan memberikan pelatihan kepada lebih dari 100.000 US matematika dan ilmu pengetahuan guru-guru selama tiga tahun, termasuk insentif, pelatihan yang ditempuh 80-jam yaitu kursus pengembangan profesionalisme dalam mengajarkan matematika untuk guru SD.

5. The Summer of Innavation, yaitu sautu program yang melibatkan guru, para siswa dan mahasiswa untuk mempelajari terapan matematika dan sains di NASA.








Take home test :
1. Dilihat dari penyelenggaraan pemerintah maka di Indonesia menganut asas sentralisasi dan desentralisasi,maka akan menimbulkan dampak bagi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia yang terdiri dari
A. Dampak penyelenggarakan asas sentralisasi bagi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia menimbulkan konsekuensi di mana posisi dan peran siswa cenderung dijadikan sebagai objek agar memiliki peluang untuk mengembangkan kreatifitas dan minatnya sesuai dengan talenta yang dimilikinya. Dengan adanya sentralisasi pendidikan telah melahirkan berbagai fenomena yang memperhatikan seperti :
1. Totaliterisme penyelenggaraan pendidikan
2. Keseragaman manajemen, sejak dalam aspek perencanaan, pengelolaan, evaluasi, hingga model pengembangan sekolah dan pembelajaran.
3. Keseragaman pola pembudayaan masyarakat
4. Melemahnya kebudayaan daerah
5. Kualitas manusia yang robotic, tanpa inisiatif dan kreatifitas.

B. Dampak penyelenggarakan asas desentralisasi bagi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.
Desentralisasi adalah pendelegasian wewenang dalam membuat keputusan dan kebijakan kepada orang-orang pada level bawah ( daerah ). Pada sistem pendidikan yang terbaru tidak lagi menerapkan sistem pendidikan sentralisasi, melainkan sistem otonomi daerah atau otda yang memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengambil kebijakan yang tadinya diputuskan seluruhnya oleh pemerintah pusat.
Dari beberapapengalaman di negara lain,kegagalan disentralisasi di akibatkan oleh beberapa hal :
1. Masa transisi dari sistem sentralisasi ke desintralisasi ke memungkinkan terjadinya perubahan secara gradual dan tidak memadai serta jadwal pelaksanaan yang tergesa-gesa.
2. Kurang jelasnya pembatasan rinci kewenangan antara pemerintah pusat, propinsi dan daerah.
3. Kemampuan keuangan daerah yang terbatas.
4. Sumber daya manusia yang belum memadai.
5. Kapasitas manajemen daerah yang belum memadai.
6. Restrukturisasi kelembagaan daerah yang belum matang.
7. Pemerintah pusat secara psikologis kurang siap untuk kehiulangan otoritasnya.
Berdasarkan pengalaman, pelaksanaan desentralisasi yang tidak matang juga melahirkan berbagai persoalan baru, diantaranya :
1. Meningkatnya kesenjangan anggaran pendidikan antara daerah,antar sekolah antar individu warga masyarakat.
2. Keterbatasan kemampuan keuangan daerah dan masyarakat (orang tua) menjadikan jumlah anggaran belanja sekolah akan menurundari waktu sebelumnya,sehingga akan menurunkan motivasi dan kreatifitas tenaga kependidikan di sekolahuntuk melakukan pembaruan.
3. Biaya administrasi di sekolah meningkat karena prioritas anggarandi alokasikan untuk menutup biaya administrasi, dan sisanya baru didistribusikan ke sekolah.
4. Kebijakan pemerintah daerah yang tidak memperioritaskan pendidikan, secara kumulatif berpotendsi akan menurunkan pendidikan.
5. Penggunaan otoritas masyarakat yang belum tentu memahamisepenuhnya permasalahandan pengelolaan pendidikan yang pada akhirnya akan menurunkan mutu pendidikan.
6. Kesenjangan sumber daya pendidikan yang tajam di karenakan perbedaan potensi daerah yang berbeda-beda. Mengakibatkan kesenjangan mutu pendidikan serta melahirkan kecemburuan sosial.
7. Terjadinya pemindahan borok-borok pengelolaan pendidikan dari pusat ke daerah.
Untuk mengantisipasi munculnya permasalahan tersebut di atas, disentralisasi pendidikan dalam pelaksanaannya harus bersikap hati-hati. Ketepatan strategi yang ditempuh sangat menentukan tingkat efektifitas implementasi disentralisasi. Untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan buruk tersebut ada beberapa hal yang perlu di perhatikan :
1. Adanya jaminan dan keyakinan bahwa pendidikan akan tetap berfungsi sebagai wahana pemersatu bangsa.
2. Masa transisi benar-benar di gunakan untuk menyiapkan berbagai halyang dilakukan secara garnual dan di jadwalkan setepat mungkin.
3. Adanya kometmen dari pemerintah daerah terhadappendidikan, terutama dalam pendanaan pendidikan.
4. Adanya kesiapan sumber daya manusia dan sistem manajemen yang tepat yang telah dipersiapkan dengan matang oleh daerah.
5. Pemahaman pemerintah daerah maupunDPRD terhadap keunikan dan keberagaman sistem pengelolaan pendidikan, dimana sistem pengelolaan pendidikan tidak sama dengan pengelolaan pendidikan daerah lainnya.
6. Adanya kesadaran dari semua pihak (pemerintah, DPRD, masyarakat) bahwa pengelolaan tenaga kependidikan di sekolah, terutama guru tidak sama dengan pengelolaan aparat birokrat lainnya.
7. Adanya keiapan psikologis dari pemerintah pusat dari propinsi untuk melepas kewenangannya pada pemerintah kabupaten / kota.
Selain dampak negatif tentu saja disentralisasi pendidikan juga telah membuktikan keberhasilan antara lain :
1. Mampu memenuhi tujuan politis, yaitu melaksanakan demokratisasi dalam pengelolaan pendidikan.
2. Mampu membangun partisifasi masyarakat sehingga melahirkan pendidikan yang relevan, karena pendidikan benar0benar dari oleh dan untuk masyarakat.
3. Mampu menyelenggarakan pendidikan secara menfasilitasi proses belajar mengajar yang kondusif, yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas belajar siswa.

Jawaban Soal Nomor 2 Menurut saya guru sebagai jabatan professional mengandung pengertian bahwa guru merupakan suatu profesi yang berarti suatu jabatan yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru dan tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang diluar bidang pendidikan. Walaupun padanya kenyataannya masih terdapat hal-hal diluar bidang kependidikan yang menjadi guru. Secara umum guru yang profesional dituntut memiliki beberapa kompetensi yang dipersyaratkan yakni kompetensi professional (paedagogiec), kompetensi kepribadian dan kompetensi social. Dalam melaksanakan tugasnya guru diikat oleh kode etik guru. Sebagai jabatan professional maka seorang guru akan diberikan tunjangan yang melakat pada keprofesionalan seorang guru. Pemberian tunjangan itu merupakan suatu konsekuensi logis bagi suatu profesi, oleh sebab itu seorang guru haruslah bekerja secara professional dan tetap berpusat pada profesi guru.
Untuk seorang guru profesional perlu mengetahui dan dapat menerapkan beberapa prinsip mengajar agar dalam melaksanakan tugasnya dapat secara professional, yaitu sebagai berikut :
a. Guru harus dapat membangkitkan perhatian dan minat siswa pada materi pelajaran yang diberikan atau sebagai motivator,
b. Guru dalam mengajar mengggunakan berbagai sumber dan media pembelajaran yang bervariasi sehingga dapat merangsang siswa untuk mencari dan menemukan sendiri pengetahuan,
c. Guru harus membuat urutan (sequence) dalam pembelajaran sesuai dengan usia dan tahapan tugas perkembangan anak,
d. Guru perlu menghubungkan pelajaran yang akan diberikan dengan pengetahuan yang telah dimiliki peserta didik,
e. Guru harus memperhatikan dan memikirkan korelasi atau hubungan antara mata pelajaran dengan kebutuhan dan atau praktek nyata dalam kehidupan sehari – hari,
f. Guru harus mengembangkan sikap peserta didik dalam membina hubungan social, baik dalam kelas maupun di laur kelas,
g. Guru harus dapat menyelidiki dan mendalami perbedaan peserta didik secara individual agar dapat melayani siswa sesuai dengan perbedaannya tersebut,
h. Guru harus mampu menjadikan diri sebagai teladan bagi peserta didik,lingkungan dan masyarakat sekitar,
i. Guru harus mampu melaksanakan peranannya sebagai perancang pembelajaran,pengelola pembelajaran,pengarah pembelajaran, evaluator dan konselor.
• Menurut saya antara profesi guru sebagai jabatan dengan profesi lainnya seperti dokter, hakim ataupun akuntan ditinjauh dari segi kualifikasi pendidikan memiliki kedudukan yang sama karena untuk dapat menjadi tenaga yang professional pada ketiga profesi di atas harus memiliki kualifikasi pendidikan minimal sarjana sesuai dengan bidang keahliannya.Antara profesi guru dengan hakim ataupun dokter sama-sama diberikan tunjangan atas profesinya dan ketiga profesi tersebut seharusnya hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang memenuhi persyaratan yang diatur dalam Undang-Undang. Tapi dalam kenyataannya profesi guru yang paling dimudahkan melalui proses sertifikasi guru dengan cara pengumpulan dokumen atau portofolio yang tidak dapat dijadikan jamin untuk menyatakan tingkat keprofesionalan guru bahkan banyak guru yang tidak memiliki ilmu kependidikan yang mendalam hanya dengan program akta mengajar sudah dapat dinyatakan guru professional. Dalam hal kesejatheraan dan penghasilan ternyata profesi guru yang paling sedikit penghasilannya dibandingkan dengan dokter yang bisa bekerja di dua rumah sakit atau mendirikan praktek, tunjangan hakim jauh lebih banyak dibandingkan dengan guru, demikian juga dengan profesi akuntan lebih banyak mendapat penghasilan dibandingkan dengan profesi guru. Pada hal jika dilihat dari segi pelayanannya profesi guru, dokter atau hakim adalah profesi yang mulia.
Jawaban Soal Nomor 3. Menurut saya sertifikasi guru yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam kaitannnya dengan kinerja professional belum dapat menjawab secara utuh tentang permasalahan profesionalisme guru karena :
a. Dalam proses sertifikasi guru banyak terjadi kecurangan - kecurangan baik dalam konsep maupun teknis pelaksanaannya. Dalam hal konsepnya sertifkasi dapat diikuti oleh guru yang memiliki ijazah sarjana tanpa harus membedakan secara spesifik antara disiplin ilmunya, contoh ada sarjana hokum yang mengajar di SD tapi mempunyai akta mengajar maka dapat ikut sertifikasi guru, hal ini bertentangan dengan apa yang disebut guru sebagai tenaga professional yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai pendidikan khusus. Demikian juga dengan persyaratan masa kerja yang dianggap terlalu mudah. Dalam teknis pelaksanaannya banyak guru yang melakukan kecurangan terutama manupulasi sertikat pelatihan dan seminar, bimbingan kesiswaan, kepala sekolah dengan mudah membuat surat keputusan pembimbingan siswa.
b. Sistem Kuota yang diperlakukan akan menghambat guru-guru yang ada di daerah yang memiliki kualifikasi pendidik S1, atau daerah yang memiliki jumlah guru yang banyak ataupun masa kerja yang lama disbanding dengan daerah atau kabupaten/kota yang baru berdiri dapat dipastikan bahwa guru yang mengjar di daerah hasil pemekaran akan lebih cepat mengikuti sertifikasi guru dibandingkan dengan daerah atau kabupaten induk. Demikian juga dengan perbandingan kuota guru yang mengajar di sekolah negeri dengan guru yang mengajar di sekolah swasta, guru di sekolah negeri akan lebih mudah mengikuti sertfikasi dibandingkan dengan guru di sekolah swasta.
c. Apabila dianalisis kebijakan sertifikasi secara konsep akan berorientasi pada materialisme . Gaji menjadi sebuah motivasi bagi guru-guru untuk mengikuti uji sertifikasi, karena yang dipikirkan hanyalah gaji dan gaji. Dan kita tahu pemerintah menjanjikan gaji berlipat bagi guru yang telah mendapat sertifikasi yaitu sebesar satu kali gaji pokok. Siapa yang tidak tergoda dengan janji manis pemerintah? Sehingga dalam prakteknya banyak guru melakukan kecurangan baik pada saat pengumpulan portofolio maupun setelah mendapatkan tunjangan profesi, mungkin ada guru yang mengaji guru lain untuk menggantikan posisinya di dalam kelas.
d. Ternyata banyak guru yang sudah memiliki sertifikat pendidik tidak menunjukkan tindakan yang profesionalesme dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai guru,masih banyak guru yang mengajar sama seperti sebelum disertifikasi, padahal seharusnya guru yang sudah disertifikasi secara signifikan harus memperlihatkan sikap yang professional.
Ada beberapa hal yang perlu untuk dikaji secara mendalam untuk memberikan jaminan bahwa sertifikasi akan meningkatkan kualitas kompetensi guru.
Pertama dan sekaligus yang utama, sertifikasi merupakan sarana atau instrumen untuk mencapai suatu tujuan, bukan tujuan itu sendiri. Seperti yang telah dikemukakan di atas, perlu ada kesadaran dan pemahaman dari semua fihak bahwa sertifikasi adalah sarana untuk menuju kualitas. Sertikasi bukan tujuan itu sendiri. Kesadaran dan pemahaman ini akan melahirkan aktivitas yang benar, bahwa apapun yang dilakukan adalah untuk mencapai kualitas. Kalau seorang guru kembali masuk kampus untuk kualifikasi, maka belajar kembali ini untuk mendapatkan tambahan ilmu pengetahuan dan ketrampilan, sehingga mendapatkan ijazah S-1. Ijazah S-1 bukan tujuan yang harus dicapai dengan segala cara, termasuk cara yang tidak benar melainkan konsekuensi dari telah belajar dan telah mendapatkan tambahan ilmu dan ketrampilan baru. Demikian pula kalau guru mengikuti uji sertifikasi, tujuan utama bukan untuk mendapatkan tunjangan profesi, melainkan untuk dapat menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah memiliki kompetensi sebagaimana disyaratkan dalam standard kemampuan guru. Tunjangan profesi adalah konsekuensi logis yang menyertai adanya kemampuan yang dimaksud. Dengan menyadari hal ini maka guru tidak akan mencari jalan lain guna memperoleh sertifikat profesi kecuali mempersiapkan diri dengan belajar yang benar untuk menghadapi uji sertifikasi.
Kedua, konsistensi dan ketegaran pemerintah. Sebagai suatu kebijakan yang merentuhan dengan berbagai kelompok masyarakat akan mendapatkan berbagai tantangan dan tuntutan. Paling tidak tuntutan dan tantangan akan muncul dari 3 sumber. Sumber pertama adalah dalam penentuan lembaga yang berhak melaksanakan uji sertifikasi. Berbagai lembaga penyelenggara pendidikan tinggi, khususnya dari fihak Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Swasta akan menuntut untuk diberi hak menyelenggarakan dan melaksanakan uji sertifikasi. Demikian juga, akan muncul tuntutan dari berbagai LPTK negeri khususnya di daerah luar jawa akan menuntut dengan alasan demi keseimbangan geografis. Tuntutan ini akan mempengaruhi penentuan yang mendasarkan pada objektivitas kemampuan suatu perguruan tinggi. Ketegaran dan konsistensi pemerintah juga diperlukan untuk menghadapi tuntutan dan sekaligus tantangan bagi pelaksana Undang-Undang yang muncul dari kalangan guru sendiri. Mereka yang sudah senior atau mereka para guru yang masih jauh dari pensyaratan akan menentang dan menuntut berbagai kemudahan agar bisa memperoleh sertifikat profesi tersebut.
Ketiga, tegas dan tegakkan hukum. Dalam pelaksanaan sertifikasi, akan muncul berbagai penyimpangan dari aturan main yang sudah ada. Adanya penyimpangan ini tidak lepas dari adanya upaya berbagai fihak, khususnya guru untuk mendapatkan sertifikat profesi dengan jalan pintas. Penyimpangan yang muncul dan harus diwaspadai adalah pelaksanaan sertifikasi yang tidak benar. Oleh karenanya, begitu ada gejala penyimpangan, pemerintah harus segera mengambil tindakan tegas. Seperti mencabut hak melaksanakan sertifikasi dari lembaga yang dimaksud, atau menetapkan seseorang tidak boleh menjadi penguji sertifikasi, dan lain sebagainya.
Keempat, laksanakan UU secara konsekuen. Tuntutan dan tantangan juga akan muncul dari berbagai daerah yang secara geografis memiliki tingkat pendidikan yang relatif tertinggal. Kalau UUGD dilaksanakan maka sebagian besar dari pendidik di daerah ini tidak akan lolos sertifikasi. Pemerintah harus konsekuen bahwa sertifikasi merupakan standard nasional yang harus dipatuhi. Toleransi bisa diberikan dalam pengertian waktu transisi. Misalnya, untuk Jawa Tengah transisi 5 tahun, tetapi untuk daerah yang terpencil transisi 10 tahun. Tetapi standard tidak mengenal toleransi.
Kelima pemerintah pusat dan pemerintah daerah menyediakan anggaran yang memadai, baik untuk pelaksanaan sertifikasi maupun untuk pemberian tunjangan profesi.
Keenam Pembinaan guru harus berlangsung secara berkesinambungan, karena prinsip mendasar adalah guru harus merupakan a learning person, belajar sepanjang hayat masih dikandung badan. Sebagai guru profesional dan telah menyandang sertifikat pendidik, guru berkewajiban untuk terus mempertahankan prosionalitasnya sebagai guru. Pembinaan profesi guru secara terus menerus (continuous profesional development) menggunakan wadah guru yang sudah ada, yaitu kelompok kerja guru (KKG) untuk tingkat SD dan musyawarah guru mata pelajaran (MGMP) untuk tingkat sekolah menengah. Aktifitas guru di KKG/MGMP tidak saja untuk menyelesaikan persoalan pengajaran yang dialami guru dan berbagi pengalaman mengajar antar guru, tetapi dengan strategi mengembangkan kontak akademik dan melakukan refleksi diri.

Ketujuh Desain jejaring kerja (networking) peningkatan profesionalitas guru berkelanjutan melibatkan instansi Pusat, Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P4TK), Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) dan Dinas Pendidikan Propinsi/Kabupaten/Kota serta Perguruan Tinggi setempat. P4TK yang berbasis mata pelajaran membentuk Tim Pengembang Materi Pembelajaran, bekerjasama dengan Perguruan Tinggi bertugas:
a. menelaah dan mengembangkan materi untuk kegiatan KKG dan MGMP
b. mengembangkan model-model pembelajaran
c. mengembangkan modul untuk pelatihan instruktur dan guru inti
d. memberikan pembekalan kepada instruktur pada LPMP
e. mendesain pola dan mekanisme kerja instruktur dan guru inti dalam kegiatan KKG dan MGMP.
Kedelapan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota melakukan seleksi Instruktur Mata Pelajaran Tingkat Kab/Kota dan membentuk Guru Inti per mata pelajaran dengan tugas:
a. motivator bagi guru untuk aktif dalam KKG dan MGMP
b. menjadi fasilitator pada kegiatan KKG dan MGMP
c. mengembangkan inovasi pembelajaran
Jawaban Soal No 4. Ada indikasi kebanggaan menjadi bangsa Indonesia mulai luntur. Hedonisme menjadi salah satu fenomena negative,banyak menuntut tanpa berperan, fenomena disintegrasi, konflik demi pembenaran diri, Menurut saya kebijakan yang harus disikapi menghadapi kecerdasan hidup berbangsa yang semakin menurun dengan membandingkan sisi historis bangsa Indonesia adalah sebagai berikut :
a. Meningkatkan kemampuan akademik dan profesional serta meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara optimal terutama dalam peningkatan pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat mengembalikan nilai-nilai budaya bangsa, kepribadian bangsa serta martabat bangsa di dunia Indternasional;
b. Melakukan pembaruan sistem pendidikan termasuk pembaruan kurikulum, berupa diversifikasi kurikulum untuk melayani keberagaman peserta didik, penyusunan kurikulum yang berlaku nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan setempat dengan tetap menyembangkan dengan kepetingan-kepetingan mikro maupun makro




nasional Indonesia, serta diversifikasi jenis pendidikan secara profesional;
c. Memberdayakan lembaga pendidikan baik sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap, dan kemampuan, serta meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarakat yang didukung oleh sarana dan pra sarana memadai;
d. Melakukan pembaruan dan pemantapan sistem pendidikan nasional berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi, keilmuan dan manajemen;
e. Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang diselenggarakan baik oleh masyarakat maupun pemerintah untuk menetapkan sistem pendidikan yang efektif dan efesien dalam mengahdapi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni budaya, politik dan informasi;
f. Mengembangkan kualitas sumber daya manusia sedini mungkin searah, terarah, terpadu, dan menyeluruh melalui berbagai upaya proaktif dan reaktif oleh seluruh komponen bangsa agar generasi muda dapat berkembang secara optimal disertai dengan hak dukungan dan lindungan sesuai dengan potensinya dirinya untuk mendukung terwujudnya masyarakat yang mandiri,adil,sejahtera dan bermartabat .
g. Adanya system pendidikan yang mengintegrasikan antara nilai-nilai kepribadian bangsa Indonesia dengan kemajuan IPTEK untuk menghadapi persaingan global tanpa meninggalkan budaya bangsa.



Jawaban Soal No.5 Mencermati 2 kebijakan – kebijakan pendidikan di Indonesia :
A.Undang-Undang Tentang Badan Hukum Pendidikan
Undang-undang Badan Hukum Pendidikan atau disingkat dengan BHP telah disahkan oleh DPR-RI di tahun 2009.Yang banyak menimbulkan kontraversi dan penolokan di kalangan masyarakat terutama mahasiswa dan tidak sedikit pula kontraversi itu datang dari pemerhati pendidikan. Yang dipersoalkan para mahasiswa prinsipnya satu hal, yakni dikhawatirkan beralihnya pandangan publik dari anggapan bahwa pendidikan adalah upaya yang mulia mencerdaskan bangsa (dan diharap sepenuhnya merupakan tanggung jawab negara), menjadi anggapan bahwa pendidikan adalah komoditas yang patut diperjualbelikan. Dengan anggapan itu, lembaga pendidikan akan seenaknya menentukan biaya sekolah dan membebankannya secara naif kepada para mahasiswa lewat orangtua mereka.
Pada awalnya ketika rancangan undang-undang ini dikerjakan, aroma yang menebarkan apa yang dicurigai para mahasiswa itu memang kental adanya. Para rektor di beberapa Perguruan Tinggi negeri yang kemudian ditugaskan untuk memulai ujicoba sebenarnya dengan tertatih-tatih (sambil bergumul berbagai pertanyaan di kepalanya) menjalankan aturan baru ini. Beberapa Perguruan Tinggi yang sebenarnya cukup mampu juga menyatakan menolak untuk diujicobakan. Dalam perjalanannya (dan ini yang dijadikan contoh berulang-ulang oleh mahasiswa), Perguruan Tinggi yang bersangkutan dengan terpaksa mengalihkan beban itu ke pundak para mahasiswa baru. Alasannya, Perguruan Tinggi tidak mampu meningkatkan mutu pendidikan yang dituntut dalam persaingan global di kala dana serba terbatas. Infrastruktur harus dilengkapi, penghasilan dosen (terutama para Doktor dan Guru Besar) harus ditingkatkan. Jika tidak mereka akan terbang kesana kemari seantero bumi mencari tambahan penghasilan. Itulah yang terjadi di UI dan UGM selama ini. Mereka adalah para yunior dan secara standar kualifikasi tentu tidak setara dengan senior mereka. Ide penolakan itu bergulir dengan dilandasi pemikiran yang lebih konseptual tentang kapitalisme dan liberalisme dalam dunia pendidikan. Jadilah perang ideologi itu terus berlangsung sampai kemudian disahkannya Undang-undang BHP yang kembali menyulut demo yang tadinya sempat mereda.
Pada pasal 5 diterangkan, bahwa jenis BHP terdiri dua secara garis besar, yaitu BHP penyelenggara dan satuan pendidikan. Yang di maksud penyelenggara adalah jenis badan hukum pendidikan penyelenggara yang menyelenggarakan satu atau lebih satuan pendidikan formal yang ke depannya boleh menjadi BHPM. Dan apabila di definisikan, yang mengacu pada pasal 8 ayat 3,bahwa yang tergolong di dalam BHP penyelenggara adalah yayasan, perkumpulan, atau badan hukum lain yang telah menyelenggarakan satuan pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan/atau pendidikan tinggi(untuk ukuran sekarang yang di maksud BHP penyelenggara adalah sekolah-sekolah swasta dan perguruan-perguruan tinggi swasta). Sedangkan yang di maksud BHP satuan pendidikan adalah sekolah-sekolah dan perguruan-perguruan tinggi yang di dirikan pemerintah (negeri) yang nantinya di sebut BHPP dan BHPD dan apabila mengacu pada pasal 5 ayat 3,bahwa BHP satuan pendidikan merupakan jenis BHP pada satuan pendidikan yang secara implisit dapat diartikan BHP satuan pendidikan hanya berhak mengelola satu pendidikan formal.
Di sini terindikasi tindakan diskriminasi yang dilakukan pemerintah dengan cara memberi batasan yang di buat untuk membatasi BHP satuan pendidikan untuk membuka satuan pendidikan yang lain. Namun ,lain halnya dengan BHP penyelenggara. Satuan ini di berikan kebebasan untuk membuka satuan pendidikan yang satu jalur bahkan diperkenankan membuka satuan pendidikan pada tingkatan yang lain yang nantinya tetap masuk ke dalam jaringan BHP penyelenggara.
Ketentuan ini tragis, dengan membuat regulasi yang demikian. Pemerintah seolah-olah lebih merestui BHP penyelenggara untuk mengelola pendidikan di negeri ini. Alasannya jelas, dengan regulasi seperti itu, pemerintah tidak susah-susah untuk mengalokasikan dana dalam kapasitas yang besar di dalam pengelolaan pendidikan. Lalu, apa yang pada tahap selanjutnya menjadi implikasi dari ketentuan tersebut terhadap pendidikan di Indonesia?. Dengan memberikan ruang bebas kepada pihak swasta di dalam pengelolaan pendidikan, ketakutan yang terbesar adalah pendidikan akan semakin tinggi, seperti yang terlihat sekarang di berbagai perguruan tinggi ataupun sekolah-sekolah swasta. Bahkan kemungkinan akan jauh lebih buruk.


Pasal 18 ayat 2, memaparkan bahwa anggota organ representasi pemangku kepentingan di dalam BHP yang menyelenggarakan pendidikan tinggi, paling sedikit terdiri atas: Pendiri atau wakil pendiri, Wakil organ representasi pendidik, Pemimpin organ pengelola pendidikan, Wakil tenaga kependidikan dan Wakil unsur masyarakat.
Pertanyaan yang timbul dari ketentuan tersebut adalah ”di mana posisi organ terdidik (mahasiswa) diposisikan ? ” Walaupun pada ayat 3 menyebutkan ”anggaran dasar dapat menetapkan unsur lain sebagai organ representasi pemangku kepentingan” dan unsur mahasiswa bisa diikutsertakan.Apa yang menyebabkan unsur mahasiswa tidak termasuk ke dalam prioritas utama dari ketentuan dari pasal 18 ayat 2 di atas. Apakah dengan hal ini akan tercipta sebuah transparansi di dalam pengelolaan BHP , yang selalu didengung-dengungkan di dalam prinsipnya. Sedangkan fakta yang telah tertuliskan tersebut tidak menyinggung secara gamblang tentang keterlibatan organ terdidik selaku objek di dalam tujuannya mewujudkan transparansi.
Pada Pasal 46 tertulis BHP wajib menjaring dan menerima warga negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi dan kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20% dari jumlah keseluruhan peserta didik. Apabila disimpulkan, pada kata ”dan” terdapat 2 kesimpulan, ada 2 unsur yang terjaring yaitu, WNI yang akademik tinggi tanpa melihat status ekonominya.
atau 1 unsur yang terjaring, yaitu WNI yang potensi akademik tinggi sekaligus kurang mampu, dan apabila maksud ini yang benar mengapa tidak mengganti kata ”dan” menjadi ”sekaligus” biar maknanya jelas. Bayangkan apa yang terjadi jika yang menjadi maksud dari ketentuan tersebut adalah kesimpulan pertama.
Akses WNI yang kurang mampu akan semakin sempit di dalam mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Angka 20% ini hanya sebuah kompensasi untuk menyembunyikan makna implisit yang terkandung di dalamnya.
Begitu halnya juga dengan kesimpulan yang kedua, ketentuan tersebut bukan hal yang patut ditanggapi secara antusias positif. Pada poin tersebut terlihat jelas tindakan diskriminatif. Pertanyaan yang timbul adalah bagaimana dengan posisi WNI yang notabene potensi akademiknya tidak terlalu menonjol atau malahan potensi akademiknya bobrok dan kurang mampu, yang selama ini masih mampu mengakses pendidikan di perguruan tinggi. Jalur apakah yang mereka tempuh?. Berarti dengan adanya proses tersebut, jelaslah dengan masuknya BHP akan tercipta sebuah proses seleksi yang super ketat di dalam penjaringan mahasiswa baru. Namun bagi yang mampu, hal itu bukanlah masalah. Karena tersedia jalur khusus yang tersedia bagi mahasiswa berkantong tebal tanpa menjalani berbagai macam test yang ketat.
Selain itu, angka 20 % ini tidak akan pernah cukup sebagai representasi seluruh WNI yang kurang mampu yang angkanya sangat tinggi di negara ini. Di sinilah letak sebenarnya pengkhianatan UU BHP terhadap amanat konstitusi, yaitu implikasinya jelas, pembagian kelas di dunia pendidikan. Yang efek jangka panjangnya berpengaruh terhadap tataran sosial masyarakat, dimana kesenjangan antara si miskin dan si kaya akan sangat jelas.

Tidak bijak apabila kita hanya melihat UU BHP itu hanya dari sesi negative saja, kita juga perlu memperhatikan sisi positif sebagai solusi terhadap kekurangan dalam pasal UU BHP tersebut sehingga semua pihak dapat menerimanya dengan bijaksana seperti yang dapat kita cermati dalam ulasan di bawah ini.
Pada prinsipnya ide UU-BHP adalah menguatkan apa yang kita namakan otonomi perguruan tinggi di Indonesia. Strategi pertama adalah ingin memberikan keleluasaan kepada PT untuk berkreasi dan bertindak tidak lagi terikat pada birokrasi pusat yang tersentralisasi. Strategi kedua, PT hendaknya tidak lagi cengeng dengan sepenuhnya bergantung kepada Pemerintah. Jadi ada upaya dari PT untuk secara inovatif mengembangkan diri sebagai enterpreneur (yang jauh sebelum UU-BHP dirancang Perguruan Tinggi negeri telah memiliki ide yang sama).
Petunjuk ke arah itu dapat dilihat di dalam UU-BHP Bab VI tentang Pendanaanya pasal 41 ayat 4 dan juga ayat 9. Pada ayat 4 intinya menyebutkan tentang kewajiban Pemerintah bersama dengan BHPP untuk menanggung paling sedikit setengah (1/2) biaya operasional. Sedangkan pada ayat 9 intinya menyebut tentang tanggungan peserta didik sebesar-besarnya sepertiga (1/3) biaya operasional. Jadi menurut ayat 4, jika Pemerintah dan BHPP mencukupi sampai 2/3 dan peserta didik membayar 1/3 dari biaya operasional, logikanya PT yang bersangkutan akan mampu beroperasi dalam standar nasional pendidikan. Namun perlu dicermati, meskipun dikatakan bahwa paling sedikit setengah (½) menjadi tanggungan pemerintah, embel-embelnya tanggungan itu disebutkan bersama-sama dengan BHPP atau PT bersangkutan. Apa artinya ini? Artinya bahwa PT yang bersangkutan otomatis harus mencari dana tambahan untuk kegiatan operasional mereka. Apalagi jika hanya sebesar setengah (½) yang berarti ada margin sebesar seperenam (1/6) biaya operasional yang harus dicari oleh pihak Perguruan Tinggi negeri.
Seandainya Pimpinan Perguruan Tinggi bersangkutan 'gelap pikir', tidak kreatif dan inovatif intuk menutupi margin kekurangan dana tersebut, maka secara naif (dan ini yang dikhawatirkan para mahasiswa), PT akan ambil jalan mudah untuk meningkatkan sumbangan mahasiswa. Di dalam perjalanan beberapa PT yang diujicoba beberapa tahun yang lalu, terlihat oleh mahasiswa praktik demikian ini. Akan tetapi, sebaliknya bagi mahasiswa, UU-BHP ini jelas-jelas melindungi kenaikan sumbangan mahasiswa itu untuk tidak secara semena-mena, karena pada pasal 9, biaya yang disumbangkan dari peserta didik hanya boleh sebanyak-banyaknya sepertiga (1/3) dari dana operasional. Sebagai contoh di UBB, dana sumbangan dari peserta didik diluar uang pendaftaran, jaket dan kewajiban kecil lainnya kurang dari 4 juta rupiah. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa berdasarkan standar nasional pendidikan, dana operasional yang dibutuhkan minimal dalam setahun per mahasiswa (2005) sebesar 18 juta rupiah. Artinya sumbangan peserta didik di UBB baru mencapai 22.2%, masih dibawah ¼ dan masih jauh di bawah standar 1/3 yang ditentukan UU-BHP. Tentu kita berharap dana bantuan Pemerintah di luar kerjasama dengan BHPP jauh diatas setengah (½) dari dana operasional yang dibutuhkan, sehingga mengurangi tingkat kesulitan bagi pimpinan PT dan jauh dari gelap pikir untuk menaikkan dana sumbangan dari peserta didik. Sebenarnya perlindungan kepada mahasiswa telah diberikan oleh UU-BHP ini dan tidak kepada pimpinan PT. Oleh sebab itu saya sampaikan kepada para mahasiswa, kayaknya yang pantas berdemo itu adalah justru para rektor, bukan para mahasiswa. Tetapi tak apalah, kalaupun ada yang masih menolak, sebaiknya menyampaikannya ke Mahkamah Konstitusi ketimbang membuang tenaga untuk berdemo. Dan juga masih cukup waktu bagi PT negeri untuk berbenah karena UU-BHP memberi tenggang waktu 4 tahun untuk beradaptasi. Khusus untuk UBB tentu Pak Menteri akan memberi kesempatan untuk bernafas yang lebih panjang lagi. Jika Undang-undang ini tidak ada lagi aral melintangnya, mari kita berbesar hati. Tidak akan ada seorang ibu yang tega menelan anaknya...
B. Sekolah Kategori Mandiri (SKM)
1. Pengertian
Penjelasan PP No. 19 Tahun 2005 pasal 11 ayat 2 menyebutkan bahwa pemerintah mengkategorikan sekolah/madrasah yang telah atau hampir memenuhi standar nasional ke dalam kategori mandiri. Penjelasan selanjutnya menyebutkan bahwa sekolah kategori mandiri (SKM) harus menerapkan sistem kredit semester (SKS). SKS adalah salah satu sistem penerapan program pendidikan yang menempatkan peserta didik sebagai subyek. Pembelajaran berpusat pada peserta didik, yaitu bagaimana peserta didik belajar. Peserta didik diberi kebebasan untuk merencanakan kegiatan belajarnya sesuai dengan minat, kemampuan, dan harapan masing-masing (Chandramohan, 2006).
Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi menyatakan bahwa sistem kredit semester adalah sistem penyelenggaraan program pendidikan yang peserta didiknya menentukan sendiri beban belajar dan mata pelajaran yang diikuti setiap semester pada satuan pendidikan. Mengacu pada konsep tersebut, SKS dapat diterapkan untuk menunjang realisasi konsep belajar tuntas yang digunakan dalam menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Pada Sistem Kredit Semester, setiap satu satuan kredit semester (1 SKS) berbobot dua jam kegiatan pembelajaran per minggu selama 16 minggu per semester. Pada SMA/MA/SMLB, SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat, satu jam kegiatan tatap muka berlangsung selama 45 menit, 25 menit kegiatan terstruktur dan 25 menit kegiatan mandiri.
Dengan demikian, penerapan SKS pada KTSP perlu dilakukan penyesuaian dengan menggunakan pendekatan pembelajaran tuntas di mana satuan kegiatan belajar peserta didik tidak diukur berdasarkan lama waktu kegiatan per minggu-semester tetapi pada satuan (unit) kompetensi yang dicapai.






2. Karakteristik
Berdasarkan penjelasan PP No. 19 Tahun 2005 Pasal 11 ayat (2) bahwa ciri Sekolah Kategori Mandiri/Sekolah Standar Nasional adalah terpenuhinya standar nasional pendidikan dan mampu menjalankan sistem kredit semester.
Dari ciri tersebut Sekolah Kategori Mandiri/Sekolah Standar Nasional memiliki profil sebagai persyaratan minimal yang meliputi :
a. Dukungan Internal
1. Kinerja Sekolah indikator terakreditasi A, rerata nilai UN tiga tahun terakhir minimum 7,00, persentase kelulusan UN ≥ 90 % untuk tiga tahun terakhir, animo tiga tahun terakhir > daya tampung, prestasi akademik dan non akademik yang diraih, melaksanakan manajemen berbasis sekolah, jumlah siswa per kelas maksimal 32 orang, ada pertemuan rutin pimpinan dengan guru, ada pertemuan rutin sekolah dengan orang tua.
2. Kurikulum, dengan indikator memiliki kurikulum Sekolah Kategori Mandiri, beban studi dinyatakan dengan satuan kredit semester, mata pelajaran yang ditawarkan ada yang wajib dan pilihan, panduan/dokumen penyelenggaraan, memiliki pedoman pembelajaran, memiliki pedoman pemilihan mata pelajaran sesuai dengan potensi dan minat, memiliki panduan menjajagi potensi peserta didik dan memiliki pedoman penilaian.
3. Kesiapan sekolah, dengan indikator Sekolah menyatakan bersedia melaksanakan Sistem Kredit Semester, Persentase guru yang menyatakan ingin melaksanakan SKS ≥ 90%, Pernyataan staf administrasi akademik bersedia melaksanakan SKS, Kemampuan staf administrasi akademik dalam menggunakan komputer.
4. Sumber Daya Manusia, dengan indikator persentase guru memenuhi kualifikasi akademik ≥ 75%, relevansi guru setiap mata pelajaran dengan latar belakang pendidikan (90 %), rasio guru dan siswa, jumlah tenaga administrasi akademik memadai, tersedia guru bimbingan konseling/ karir. (e) Fasilitas di sekolah, dengan indiktor memiliki ruang kepala Sekolah, ruang wakil kepala sekolah, ruang guru, ruang bimbingan, ruang Unit Kesehatan, tempat Olah Raga, tempat ibadah, lapangan bermain, komputer untuk administrasi, memiliki laboratorium: Bahasa, Teknologi informasi/komputer, Fisika, Kimia, Biologi, Multimedia, IPS, Perpustakaan yang memiliki koleksi buku setiap mata pelajaran, memberikan Layananan bimbingan karir.
b. Kritik terhadap Pelaksanaan Sekolah Mandiri
Secara umum pelaksanaan Sekolah Mandiri akan menimbulkan padangan negative dan bahkan terjadi kecemburuan antara sekolah yang satu dengan SKM. Sekolah mandiri/ssn dengan sistem kredit semester berdasarkan pada PP 19 tahun 2005 perlu kita diskusikan.Pertanyaan yang muncul, apakah pemerintah sudah menyediakan sarana dan prasarana seperti diisaratkan di atas, apakah dukungan intern dan eksternal sudah optimal. Mengingat setiap daerah memiliki kekhasan yang belum tentu sesuai standar seperti tersebut di atas. Apakah standar kelulusan itu bisa diraih kalau sarana dan prasaran sekolah begitu memprihatinkan, sedangkan di sisi lain pemerintah mengeluarkan dana secara rutin ke sekolah mandiri yang nota bene pesertaa didik dari kalangan berstatus ekonomi menengah ke atas. Bagaimana dengan sekolah pinggiran? Dampak lebih lanjut animo lebih besar karena didukung dengan fasilitaas belajar yang memadai. Komite sekolah dapat memberikan kontribusi yang sangat besar karena statuis ekonomi mereka lebih baik dibanding dengan sekolah pinggiran. Walaupun demikian pemerintah terus berupaya dengaan konsep semua sekolah negeri akan diakreditasi masuk dalam sekolah standaar nasional dan selanjutnya akan menjadi sekolah berstandar internasional.
SDM yang ada di SKM dengan yang ada di sekolah pinggiran, tidak jauh berbeda, malahan SDM (guru) yang berada di sekolah pinggiran memiliki kualitas yang lebih, namun kondisi sekolah, peserta didik dan masyarakat, komite sekolah demikian sehingga standar kelulusannya pun masih jauh dari harapan. Tidak mengherankan apabila pada waktu penerimaan peserta didik baru, sekolah pinggiran menerima peserta didik (maaf) buangan dari SSN, padahal peserta didik yang di SSN ada sebagian keadaannya sama dengan peserta didik di sekolah pinggiran, namun karena sesuatu dan lain hal mereka dapat diterima(aspek ekonomi).
Konsep seperti yang dikemukakan dalam PP No.19 tahun 2005 itu baik, namun kembali kita merenung di mana letak nilai pendidikan Indonesia yang sejati yang dapat menciptakan generasi yang mengetahui jati dirinya. Apakah dengan adanya Sekolah Kategori Mandiri tersebut tidak secara langsung kita menciptakan pengkotakan generasi mendatang, lenyapnya nilai gotong royong.Hal ini perlu dikaji ulang agar kita jangan terjebak dalam uji coba sistem pendidikan di Indonesia. Sekarang digembar gembor sekolah standar nasional, sekolah bertaraf internasional, nanti periode perikutnya apalagi? Kita harus memiliki sistem pendidikan Indonesia yang asli, khas Indonesia, bukannya mengadopsi sistem pendidikan dari luar dan mengujicoba di Indonesia.
Dengan adanya PP tersebut di lapangan muncul kebohongan berantai. Pihak sekolah mulai mengkopi syarat-syarat dari SKM dan mengisi datanya serba ngawur,diteken oleh Kepala Sekolah, kemudian datanglah Tim Asesor Akreditasi Sekolah menilai. Semua yang disediakan adalah data “bohong-bohongan” kalau kita mau jujur sejujurnya. Karena administrasinya baik,SDM baik,dll. diberikan “nilai A” entah A gemuk, kurus atau apalagi, yang penting bisa masuk SKN. Kalau sekolah sudah masuk SSN kepala sekolah bangga beserta stafnya, ini hasil kerja keras tim work sekolah. Di sini nampak kebohongan berantai, guru (tim work) sekolah membohongi Kepala Sekolah, Kepala Sekolah membohongi Tim Asesor Akreditasi Sekolah, Tim Akreditasi Sekolah membohongi Kepala Dinas, dan setgerusnya sampai di Jakarta
c. Solusi Agar SKM sesuai harapan.
1. Tim akreditasi SKM harus jujur dan adil dalam menetapkan salah satu sekolah sebagai SKM melalui proses yang panjang baik dengan system menyebarkan angket atau instrument, juga harus terjun langsung ke lapangan dan bahkan mengali informasi dari masyarakat sekitar, alumni maupun lembaga swadaya yang ada serta badan atau perusahaan yang telah menggunakan jasa dari output suatu sekolah.
2. Pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional harus mampu memberikan kesimbangan antara tuntutan dengan fasilitas, sarana dan penunjang lainnya. Pemerintah baik pusat mapun daerah harus berperan aktif dalam hal pemenuhan kebutuhan dasar sebagai semua lembaga pendidikan sehingga tidak ada rasa kecemburuan social di antara sekolah yang lain,
3. Semua sekolah harus disediakan personalia yang lengkap baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif sehingga timbul persaingan yang sehat antara sekolah yang satu dengan yang lainnya,
4. Untuk menyelenggarakan SKM/SSN berasal dari dukungan komite sekolah, orang tua peserta didik, dukungan dari Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, dukungan dari tenaga pendamping pelaksanaan SKS.